Rabu, 06 Juni 2012

KRITERIA SUAMI SETEGAR PILAR


Kriteria Suami Setegar Pilar

Ini benar-benar kunci keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Jika suami istri memegang kuat-kuat konsep An Nisa’: 34, maka itulah jaminan berlayarnya bahtera tanpa masalah berarti walau ombak bisa menggulung setinggi gunung. Tetapi jika sebaliknya, yang terjadi adalah ketidaknyamanan terus menghantui sejak di pelabuhan pertama hingga sampan mulai dikayuh. Apalagi ketika langit mulai gelap.
Ayat ini sudah dilupakan oleh banyak keluarga muslim. Sehingga para suami kehilangan kendali kepemimpinan dan kelayakannya sebagai pendidik. Pelan tapi pasti, kewibawaan suami menghilang hingga hampir-hampir sirna. Bahkan telah ada yang sirna. Tak ada lagi sorot mata berwibawa penuh makna yang tak perlu mengeluarkan instruksi tetapi telah dipahami istri dan dilaksanakan.
Sementara itu, istri mulai mendesak masuk ke wilayah laki-laki. Kekekaran dan keperkasaan perlahan mulai terlihat jelas. Lama-lama, istri tak lagi memerlukan suami. Karena ia bisa melakukan semuanya, tanpa suami. Suami hanya sesosok wayang yang tak bergerak. Hanya ketika diperlukan, suami dirasakan kehadirannya. Tetapi sering kali suami hanya pelengkap, mungkin penderita. Tak ada lagi kekaguman, keterkaitan, kewibawaan suami di hati istri.
Jika seperti itu keadaan kebanyakan keluarga hari ini, bukankah sangat wajar ketika rumah tangga retak dan kemudian rata dengan tanah.
Maka, ayat ini perlu digali sedalam-dalamnya. Baik bagi yang sedang menimbang calon, ataupun yang mulai melangkah, hingga bagi para orangtua yang sedang memilih menantu, sampai mereka yang tengah sibuk mendidik anak laki-laki.
Untuk itulah, mari kita pandangi dalam-dalam ayat ini dengan petunjuk para ulama. Kita mulai dari kriteria laki-laki yang akan membawa bahtera menuju pasir putih pantai harapan.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. An Nisa’: 34)
Ayat ini menggabungkan banyak kata penguat yang menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa laki-laki harus benar-benar memiliki sifat kepemimpinan dan pendidik sejati. Kata-kata penguat itu adalah (قَوَّامُونَ), (عَلَى), (بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ). Setidaknya ketiga kata beruntun menguatkan bahwa menjadi suami harus benar-benar berfungsi sebagai suami.
(قَوَّامُونَ) silakan dibaca pada tulisan: suami setegar pilar. Di mana kalau hanya ada satu kata ini saja di ayat ini, cukuplah menunjukkan posisi seorang suami. Apalagi kata ini berbentuk shighoh mubalaghoh (bentuk kata yang menunjukkan lebih) dan ada dalam jumlah ismiyyah (bentuk kalimat yang mengedepankan kata benda dan bukan kata kerja). Keduanya menunjukkan: mendasarnya dan mengakarnya laki-laki dalam sifatnya sebagai Qowwam (lihat Ruhul Ma’ani karya Syihabuddin Mahmud Al Alusy)
(عَلَى) dalam Bahasa Arab disebut huruf. Salah satu fungsinya adalah al isti’la’ (untuk menunjukkan posisi tinggi). Dengan ini semakin jelas bahwa suami harus dalam posisi tinggi karena dialah pemimpinnya. Tentu pemimpin yang baik bukan tinggi yang tak dapat digapai. Tetapi tinggi yang tetap memperhatikan landasan.
(بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ) = dikarenakan Allah telah melebihkan. Kalimat ini bukti kuat bahwa pembahasan keluarga bukan hal sepele. Allah langsung memberi petunjuk Nya yang sangat jelas. Kelebihan yang diberikan kepada laki-laki itu langsung dari Allah. Amanah besar bagi laki-laki untuk menjadi laki-laki. Itu artinya, bahwa setiap laki-laki telah dibekali pada dirinya sifat kepemimpinan dan sebagai pendidik bagi wanita. Kalaupun hilang, pasti dikarenakan kesalahan dirinya sendiri yang tentu dipengaruhi banyak faktor.

Dua Hal yang Wajib Ada Pada Laki-Laki

Sekali lagi bagi siapapun yang hendak memilih pasangan atau telah menjalani rumah tangga atau sedang memilih menantu atau sedang mendidik anak laki-lakinya, dua hal berikut ini adalah merupakan syarat untuk seorang suami memiliki Qowamah dalam keluarganya:
1. بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ (Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita))
Ya, KELEBIHAN. Kata umum yang harus mencakup segala bentuk kelebihan. Memang tidak ada lelaki sempurna yang mempunyai kelebihan di semua hal. Kalau dia punya kelebihan pada beberapa hal, sangat mungkin lemah di bidang yang lain. Tapi setidaknya, kelebihan di dalam hal-hal yang menopang kepemimpinan dan perannya sebagai pendidik, harus dimilikinya.
Seperti yang dijelaskan oleh Al Biqo’i,
Yaitu (kelebihan) pada AKAL, KEKUATAN dan KEBERANIAN. Untuk itulah dari kaum laki-laki lah, adanya para Nabi, para pejabat, para pemimpin tertinggi, para wali dalam pernikahan. Dan segala bidang yang memerlukan kekuatan badan, akal dan agama. Untuk itulah Allah berfirman kepada laki-laki: (Berangkatlah (berjihad) kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat) At Taubah: 41. Dan Dia berfirman kepada wanita: (Dan menetaplah kamu di rumahmu) Al Ahzab: 33.” (Nadzmud Duror fi tanasub al Ayat wa as Suwar)
Kelebihan ini menurut Al Biqo’i bersifat mauhibah (anugerah Allah secara fitrah). Jadi, semakin jelas bahwa secara penciptaan, laki-laki pasti lahir dengan diberikan kelebihan pada akal, kekuatan dan keberanian. Hilangnya ketiga hal tersebut, seiring sejalan dengan salah asuh dan didikan.

2. وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ (Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka)
Ya, NAFKAH. Ayat ini, lebih menyoroti nafkah lahir yaitu harta. Karena selama seorang laki-laki sehat, nafkah batin tak perlu dibahas panjang lebar. Tetapi ada laki-laki yang siap menafkahi batin, ternyata terlalu menyederhanakan nafkah lahir.
Kehilangan tugas memberi nafkah harta bagi keluarga, artinya kehilangan kepemimpinan.
Jika kelebihan di poin satu disebut oleh Al Biqo’i sebagai kemampuan mauhibah, maka poin dua ini disebut sebagai kemampuan kasbi (diusahakan dan bukan bawaan).
Dengan demikian, seorang laki-laki harus menjaga anugerah bawaan (fitrah)nya sebagai laki-laki. Dan laki-laki pun harus berupaya sekuat tenaga untuk mendatangkan nafkah bagi keluarganya.
Untuk kewajiban memberikan nafkah harta, sebatas kemampuan maksimalnya. Tidak mesti harus banyak. Sebagaimana firman Allah,

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

"Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Qs. Al Baqarah: 236)
Yang paling penting adalah tanggung jawab penuh seorang laki-laki dalam mencari nafkah. Toh, semuanya masih terbuka peluang untuk berubah lebih baik. Nabi menyebut Muawiyah sebagai orang yang miskin tak punya harta. Tetapi di kemudian hari setelah Rasul wafat, Muawiyah adalah pemimpin besar muslimin yang memiliki banyak harta.
KELEBIHAN dan NAFKAH, adalah dua sejoli yang harus ada kedua-duanya, terpatri pada diri laki-laki. Barulah ia layak disebut sebagai pemimpin dan pendidik. Yang dengan nahkoda seperti ini, rumah tangga akan sangat terjaga perjalanannya.
Namun, jika hilang salah satunya atau bahkan kedua-duanya, maka otomatis tercabutlah Qowamah dari pundak suami. Dan rumah menjadi bahtera tanpa nahkoda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar