I.
PENDAHULUAN
Ada sementara orang yang
menyatakan bahwa pengajaran membaca, termasuk didalamnya pengajaran membaca
Al-Qur’an, belum waktunya untuk diberikan kepada anak-anak usia TK. (pra
sekolah). Di usia TK., cukuplah diberikan materi-materi hafalan saja.
Pengajaran membacanya, diberikan di usia SD. Usia TK. adalah usia bermain.
Pernyataan ini menggelitik hati saya, benarkah anak usia TK. (4.0 – 6.0
tahun) belum saatnya diajar membaca? Atau lebih khusus lagi, benarkah anak usia
TK. (pra sekolah) belum saatnya diajar membaca Al-Qur’an? Tulisan ini akan
mencoba menjawab pertanyaan ini. Dalam makalah ini, saya akan mencoba
menelusuri pendapat-pendapat para ahli melalui tulisan-tulisan yang ada,
kemudian mencoba melihat dari dekat TK. Al-Qur’an “AMM” Kotagede Yogyakarta
yang merupakan lembaga pendidikan yang dinilai telah berhasil dalam mengajarkan
membaca Al-Qur’an untuk anak usia pra sekolah.
Makalah ini tidak dimaksudkan untuk mengung-kap tingkat keberhasilan TK.
Al-Qur’an “AMM” tersebut, karena memang telah diakui oleh masyarakat, tetapi
yang diungkap adalah metodologi pengajaran membaca Al-Qur’an yang diterapkan di
sana, mengapa bisa berhasil?
II. PENGAJARAN MEMBACA
Telah kita maklumi bersama, bahwa tatkala Nabi Muhammad SAW berkholwat di
gua Hiro’, tiba-tiba malaikat Jibril datang membawa wahyu yang pertama berupa
QS. Al-’Alaq: 1-5. Ayat itu selengkapnya berbunyi:
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang
menciptakan. Dia telah mencip-takan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena.
Yang mengajar manusia (tentang) apa yang tidak ia ketahui” (QS. Al-’Alaq: 1 –
5)
Bila kita perhatikan, ternyata wahyu yang pertama turun bukanlah wahyu
perintah untuk bersujud atau menyembah Allah, namun justru perintah untuk
membaca. Membaca dan membaca, demikian sampai diulang 2 kali. Memang, “membaca”
dalam arti luas tidaklah terbatas pada membaca huruf-huruf yang tertulis dalam
sebuah kitab, tetapi bisa berarti membaca fenomena-fenomena yang ada dalam alam
dan jagat raya ini. Namun demikian ayat ini memberi indikasi betapa Islam
sangat mementingkan masalah kemampuan membaca huruf-huruf yang tertulis dengan
pena dalam bentuk simbol-simbol tulisan. Coba kita perhatikan makna QS.
Al-’Alaq: 4-5
“Dialah (Allah) yang telah mengajar dengan (goresan) pena.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Dengan demikian Islam sungguh sudah mempunyai konsep yang jelas tentang
anjuran untuk membaca dan menulis. Islam menyadari bahwa melalui membacalah
diperoleh berbagai ilmu pengetahuan. Membaca adalah pintu gerbang segala ilmu.
Demikian pula dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, kemampuan membaca
anggota masyarakatnya tidak bisa diabaikan. Tidak ada, satu bangsapun di dunia
ini, yang menganggap tidak pentingnya kemampuan membaca para warganya. Bahkan
salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa, dilihat pula dari tinggi rendahnya
kemampuan dan minat baca para warganya.
Hal yang demikian ini telah disadari sejak awal oleh Rosululloh SAW. Oleh
karena itu, sejak awal perjuangan Nabi, salah satu misi yang menjadi sasarannya
adalah memberantas buta huruf pengikutnya. Sejarah mencatat, bahwa di masa
sebelum datangnya agama Islam, kuttab (tempat untuk memberi pelajaran baca
tulis) telah ada juga di negara Arab, namun jumlahnya masih sangat terbatas.
Karena terbatasnya itu sampai-sampai di waktu agama Islam datang, orang-orang
Quraisy yang pandai menulis dan membaca tidak lebih dari 17 orang saja
(Ahmad
Salabi, 1973: 33).
Oleh Nabi, kemudian kemampuan membaca dan menulis ini diangkat kederajat
yang tinggi. Orang-orang yang pandai membaca dan menulis, seperti Zaid bin
Tsabit dan kawan-kawan oleh beliau diangkat menjadi sekretaris pribadi yang
secara khusus ditugaskan untuk mencatat wahyu Allah yang berupa ayat-ayat
Al-Qur’an. Sebuah kedudukan yang sangat terhormat.
Dalam perang Badar, banyak penduduk Makkah yang menjadi tawanan perang
muslimin. Diantara para tawanan itu, terdapat pula orang-orang yang pandai
membaca dan menulis. Oleh kaum muslimin, tawanan yang pandai tulis baca ini
dijanjikan bisa dibebaskan dengan syarat menebus dirinya dan atau mengajarkan
kemampuan baca tulisnya ini kepada kaum muslimin. Tiap seorang dari mereka
harus bisa “memelekkan” sekurang-kurangnya 10 orang muslim dari kebutaan
membaca dan menulis.
Demikianlah semenjak itu, tumbuh dan berkembanglah kuttab-kuttab, yang
disamping sebagai tempat belajar baca tulis juga sebagai tempat belajar
dasar-dasar agama di kalangan umat Islam. Rosulullohpun melalui sabda-sabdanya,
terus menerus memberikan motivasi kepada umat Islam agar memperhatikan
pengajaran membaca, khusus-nya pengajaran membaca Al-Qur’an.
Artinya:
“Didiklah anak-anakmu dengan 3 perkara; Mencintai Nabi,
mencintai keluarga Nabi dan membaca Al-Qur’an “(HR Ath-Thobroni).
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:
Artinya:
“Hak anak atas orangtuanya ada 3. Memilihkan nama yang
baik ketika baru lahir, mengajarkan Kitabullah (Al-Qur’an) ketika mulai bisa
berfikir dan menikahkan ketika telah dewasa” (HR. Ahmad).
Demikian pula para sahabat Nabi, tidak ada yang menganggap tidak pentingnya
pengajaran baca dan tulis ini. Sahabat Umar misalnya
(Abu Tauhid, 1990:3), telah
menegaskan:
Artinya:
“Termasuk hak anak yang menjadi kewajiban orang tuanya adalah
mengajar-kan menulis, memanah dan tidak mem-berinya rizki kecuali yang halal
dan
baik”
Dari kata-kata Umar bin Khottob ini, dapat diambil pengertian bahwa
pengajaran baca tulis adalah termasuk salah satu hak anak yang tidak boleh
diabaikan oleh orang tuanya. Begitulah semenjak Rosululloh SAW kemudian para
Khulafaurrosyidin dan generasi-generasi berikutnya, umat Islam terus menerus
memandang penting kemampuan membaca dan menulis ini. Dapat diyakini telah
menjadi kesepakatan umat akan pentingnya kemampuan membaca dan menulis ini dan
tidak ada seorangpun yang berpendapat sebaliknya. Al Jahizh, seorang pujangga
muslim yang terkenal itu, pernah berkata:
“Andaikata tulisan tidak ada, sungguh akan kacau balaulah sejarah
bangsa-bangsa yang dahulu, dan terputuslah peninggalan-peninggalan orang-orang
yang telah mati. Lisan hanya dipakai oleh orang yang berhadapan dengan
kita…”(Ahmad Salabi, 1973: 34).
III. BATAS USIA AWAL DIMULAINYA PENGAJARAN MEMBACA
Di atas telah diuraikan mengenai perhatian Islam terhadap pengajaran membaca
dan menulis pada umumnya, dan khususnya pengajaran membaca dan menulis
huruf-huruf Al-Qur’an. Yang menjadi persoalan dalam makalah ini adalah, usia
berapa anak mulai bisa diajarkan membaca? Apakah anak usia pra sekolah (TK)
yang berusia antara 4,0 – 6,0 tahun sudah boleh diajarkan membaca?
Dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, sepanjang yang saya ketahui, nampaknya
tidak ada satu keteranganpun yang secara shorih menerangkan mengenai usia
berapa anak mulai bisa diajarkan membaca. Untuk itu, masalah ini termasuk
masalah ijtihadiyah yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Barangkali satu-satunya hadits yang secara tersirat bisa dijadikan petunjuk
adalah hadits tentang pendidikan sholat. Nabi SAW. bersabda:
Artinya:
“Perintahlah anak-anakmu untuk menu-naikan sholat pada saat
telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka bila mening-galkan sholat pada saat
telah berusia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al-Hakim
dan Abu Dawud).
Dalam hadits ini, secara tersurat Rosululloh memerintahkan agar orangtua
mulai mengajarkan sholat kepada anak-anak mereka sejak usia 7 tahun. Dan karena
dalam sholat terdapat
bacaan-bacaan
Al-Qur’an, maka secara tersirat hendaknya orangtua telah mengajarkan membaca
Al-Qur’an sebeium usia 7 tahun ini. Barangkali sekitar 1 – 2 tahun lebih awal
dari usia 7 tahun.
Namun tentu saja, hadits ini kurang kuat untuk menetapkan bahwa usia 5,0 –
6,0 tahun sebagai awal pengajaran membaca Al-Qur’an. Sebab dalam sholat,
lebih-lebih bagi para pemula, tidak mesti harus diawali oleh kemampuan membaca
Al-Qur’an, karena bisa dilakukan cukup dengan hafalan saja.
Sedang para ulama salaf, umumnya hanya menegaskan pentingnya mengajarkan
Al-Qur’an kepada anak sejak usia dini, tanpa menyebutkan apakah mengajarkan
membaca dan menuliskannya atau sekedar menghafal Al-Qur’an saja.
Abdullah Nasikh Ulwan, dalam kitabnya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mencatat
pendapat-pendapat mereka, yang bila kita terjemahkan sebagai berikut:
1. Sa’ad bin Abi Waqqos berkata:
“Kami mengajarkan sejarah perjuangan Rosululloh kepada anak-anak sebagaimana
kami juga mengajarkan kepada mereka surat-surat dari Al-Qur’an”
(Abdullah
Nasikh Ulwan, 1995: 160).
2. Imam.Ghozali dalam kitab
“Ikhya’”-nya berpesan agar mengajarkan kepada anak tentang Al-Qur’an,
hadits-hadits, kisah orang-orang bijak, kemudian beberapa hukum agama
(Abdullah
Nasikh Ulwan, 1995: 160).
3. Ibnu Kholdun dalam kitab
“Muqoddimah”nya menunjuk kepada pentingnya mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak
dan menghafalkannya. Dan beliau menjelaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an itu
menjadi azas bagi seluruh kurikulum atau mata pelajaran
(Abdullah Nasikh
Ulwan, 1995: 160)
4. Ibnu Sina dalam kitab
“As-Siyasah”nya telah memberi nasehat agar mengajar anak dengan Al-Qur’an
lebih dahulu. Segenap potensi anak, baik jasmani dan akalnya, hendaknya
dicurahkan untuk menerima pelajaran Al-Qur’an ini. agar anak dapa&menyerap
bahasa yang asli dan tertanam kuat dalam jiwanya indikasi-indikasi keimanan
(Abdullah
Nasikh Ulwan, 1995: 161)
Bila kita perhatikan pendapat-pendapat ulama di atas, nampak bahwa mereka
sepakat tentang pengajaran Al-Qur’an ini sejak usia dini (tanpa menyebut usia
tertentu), bahkan Imam Ghozali dan Ibnu Sina menegaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an
ini harus didahulukan sebeium pengajaran-pengajaran yang lain. Yang menjadi
persoalan adalah, apakah dalam mengajarkan Al-Qur’an itu dengan tulis bacanya
atau hanya dengan menghafalkan saja? Dalam teks-teks di atas tidak dijelaskan.
Namun demikian, ada pula berita-berita dari para ulama terdahulu yang
menunjukkan kepada usia tertentu ‘untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak.
Misalnya:
1. Abu ‘Ashim berkata: “Aku
pergi bersama anakku yang berusia 3 tahun kepada Ibnu Kuroij untuk belajar
hadits dan Al-Qur’an”. Dan beliau (Abu ‘Ashim) lebih lanjut menegaskan: “Tidak
ada halangan seorang anak mempelajari hadits dan Al-Qur’an pada saat usia
sekitar itu (3 tahun)”
(Muhammad Nur bin Abdul Khafidz
Suwaidi, 1992: 12)
Pendapat Abu ‘Ashim ini menunjuk kepada usia 3 tahun untuk memulai belajar
Al-Qur’an, namun sayang tidak menjelaskan apakah sekedar menghafal ataukah
dengan membaca tulisannya.
2. Ibrohim bin Said
Al-Jauhari berkata:”Aku melihat seorang anak usia 4 tahun membaca (“qod
qoro’a”) Al-Qur’an di hadapan Kholifah Al-Makmun”
(Muhammad Nur bin Abdul
Khafidz Suwaidi, 1992: 12)
Persaksian Ibrohim bin Said Al-Jauhari ini menegaskan bahwa anak usia 4
tahun telah terampil membaca Al-Qur’an. Ini berarti, sebeium usia 4 tahun ia
telah belajar membaca Al-Qur’an.
3. Imam Syafi’i berkata:
“Aku telah hafal Al-Qur’an saat usia 7 tahun, dan aku telah hafal Al-Muwattho’
saat usiaku 10 tahun
(Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi, 1992: 111).
Pengakuan Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa usia 7 tahun telah hafal
Al-Qur’an, ini berarti sebelum usia itu (barangkali usia 4,0 – 5,0 tahun)
beliau telah memulai belajar menghafal Al-Qur’an. Namun tidak didapati
penjelasan apakah beliau sekedar hafal ataukah juga bisa membaca tulisannya.
4. Al-Fadhl bin Zaid melihat
seorang anak dari keluarga Arab Badui yang sangat mengagumkan: la bertanya
kepada Ibunya bagaimana cara mendidiknya. Sang ibu menjawab: “Sewaktu anak itu
berumur 5 tahun, kuserahkan dia kepada seorang guru untuk belajar menghafal dan
membaca Al-Qur’an …” Persaksian Al-Fadhl bin Zaid ini menunjukkan bahwa anak
usia 5 tahun sudah diajarkan menghafal dan membaca Al-Qur’an.
Demikianlah beberapa riwayat para tokoh terdahulu, yang menunjukkan bahwa
usia 3,0 – 5,0 tahun sudah diajarkan menghafal dan membaca Al-Qur’an. Dan
sepanjang yang saya ketahui, tidak ada tokoh terdahulu yang menyatakan bahwa
sebelum anak berusia 7,0 tahun belum saatnya untuk diajarkan membaca, baik
membaca Al-Qur’an maupun membaca huruf-huruf lainnya.
Bagaimana mengenai pendapat tokoh-tokoh dewasa ini? Apakah anak usia pra
sekolah (4.0 – 5,0 tahun) sudah boleh diberi pelajaran membaca, dan khususnya
pelajaran membaca Al-Qur’an? Di Indonesia nampaknya ada 2 pendapat dalam hal
ini. Pendapat pertama menyatakan “tidak boleh” karena akan terjadi pemaksaan
yang bisa menimbulkan stres bagi anak. Anak usia TK. belum cukup matang untuk
membaca. Usia TK. adalah usia bermain. Pendapat kedua menyatakan “boleh”
asalkan menggunakan sistem metode yang tepat.
Pendapat pertama nampaknya diikuti oleh lembaga TK. di bawah Depdikbud,
sehingga di sana tidak terdapat kurikulum atau bidang studi membaca. Bahkan
pada zaman Prof. Fuad Hasan sebagai Menteri Pendidikan, ada surat edaran dari
Depdikbud yang melarang TK. mengadakan acara wisuda dan melarang pula TK.
Mengajarkan membaca kepada anak-anaknya. Sedangkan untuk pengajaran membaca
Al-Qur’an baru diajarkan sewaktu anak telah duduk di SD.
Sedang pendapat kedua diikuti oleh Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA), suatu
lembaga pendidikan Al-Qur’an untuk anak usia TK. yang dipelopori oleh anak-anak
muda yang tergabung dalam Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla
Yogyakarta (Team Tadarus “AMM”) yang sekarang telah diresmikan menjadi Balai
Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis Al-Qur’an LPTQ
Nasional di Yogyakarta (Berdasarkan Keputusan LPTQ Nasional No. 1 tahun 1991).
Dalam TKA, lembaga pendidikan yang kini tengah tumbuh subur di tanah air, anak
usia TK. telah diajarkan membaca Al-Qur’an.
Pendapat kedua ini relevan dengan pendapat Glenn Doman, tokoh pengembangan
kemampuan manusia yang telah menghabiskan waktunya selama beberapa puluh tahun
untuk penelitian anak-anak di lebih dari 100 negara di 5 benua kecuali
Antartika. Di dalam bukunya “How to Teach Your Baby to Read”, dia menegaskan
bahwa mengajarkan anak dalam hal membaca sudah dapat dimulai sejak tahun
pertama kelahiran
(Glen Doman, 1987:115). Lebih lanjut dia menegaskan:
“Di atas usia 2 tahun, belajar membaca makin lama menjadi makin sukar. Jika
anak anda berusia 5 tahun, akan lebih mudah baginya dibandingkan jika usia 6
tahun. Usia 4 tahun lebih mudah, dan 3 tahun bahkan lebih mudah lagi. Usia 1
tahun adalah waktu yang terbaik untuk mulai jika anda ingin mengeluarkan waktu
dan energi yang paling sedikit untuk mengajar anak anda membaca”(Glen Doman,
1987: 115).
Nampaknya pendapat Glen Doman ini sekarang banyak diikuti oleh
lembaga-lembaga TK. di berbagai negara. Di Singapura misalnya, sewaktu saya
berkunjung ke TK. Islam Muhammdiyah Singapura pada bulan Agustus 1992, anak-anak
usia 5,0-6,0 tahun telah juga diajar membaca dan trampil mempergunakan
komputer. Demikian pula di Malaysia, di Tadika (istilah yang digunakah untuk
TK.) juga telah diajarkan membaca huruf latin dan huruf Arab Jawi.
Lepas dari kedua pendapat di atas, yang jelas TK. Al-Qur’an yang kini tumbuh
subur di Indonesia, telah membuktikan bahwa anak-anak usia TK., dalam waktu
sekitar 6-8 bulan telah sanggup diantarkannya mampu membaca Al-Qur’an. Bahkan
bagi anak yang cerdas dan didukung oleh lingkungan yang menguntungkan, dalam
waktu 3-4 bulan, anak usia 5,0 tahun bisa lancar membaca Al-Qur’an.
(Dokumentasi
Badan Koordinasi TKA-TPA Propinsi DIY, 1993). Apa kunci rahasia
keberhasilannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya sengaja datang melihat dari dekat
bagaimana proses pengajaran membaca Al-Qur’an berlangsung di TK. Al-Qur’an
“AMM” Kotagede Yogyakarta. Dipilihnya TK. Al-Qur’an “AMM” ini sebagai ajang
observasi selama 2 minggu di bulan Juni 1996, adalah berdasarkan pertimbangan
TKA “AMM” inilah yang dikenal sebagai penggerak utama bagi tumbuh berkembangnya
TKA-TKA di tanah air.
IV. TK. AL-QUR’AN “AMM” KOTAGEDE YOGYAKARTA
TK. Al-Qur’an “AMM” ini terletak di kampung Selokraman Kotagede Yogyakarta,
7 km. ke arah tenggara dari pusat kota Yogyakarta. Lembaga ini didirikan pada
tanggal 16 Maret 1998 oleh ustadz H. As’ad Humam bersama anak-anak muda yang
tergabung dalam Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla (Team Tadarus
“AMM”).
Dinamakan TK. Al-Qur’an karena memang fokus kegiatannya adalah mengajarkan
membaca Al-Qur’an untuk anak-anak usia TK. (4,0 – 6,0). Target pokoknya adalah
mengantarkan para anak didiknya agar mampu membaca Al-Qur’an, sebuah kemampuan
yang akan menjadi dasar bagi terwujudnya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang
mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
TK. Al-Qur’an “AMM” ini diselenggarakan sore hari, dengan pertimbangan agar
para anak didiknya bisa mengikuri TK. “biasa” di pagi hari. Anak masuk 6 kali
dalam seminggu, tiap kali masuk berlangsung 60 menit, antara jam 14.00 -15.00,
atau 15.00 – 16.00, atau 16.00 – 17,00 sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
Tiap kelompok terdapat sekitar 30 anak dengan 5 orang guru. Jadi perbandingan
guru dengan murid adalah 1:6. Gurunya kebanyakan putri, berusia antara 20-30 tahun
dan mayoritas berstatus sebagai mahasiswa.
Mata pelajarannya dibedakan menjadi 2, yaitu materi pokok dan materi
penunjang. Yang menjadi materi pokok adalah pengajaran membaca Al-Qur’an dengan
menggunakan buku “Iqro”‘ sedang materi penunjangnya berupa hafalan bacaan
sholat, 12 do’a sehari-hari, 12 surat-surat pendek, 6 kelompok ayat pilihan,
menulis huruf Al-Qur’an, BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) dan praktek ibadah
(As’ad
Humam dkk., 1995: 11-14)
Waktu yang 60 menit tiap kali masuk itu, dipergunakan untuk:
1. 05 menit : Pembukaan (persiapan, salam,
do’a dan absensi)
2. 10 menit : Klasikal I (untuk materi hafalan)
3. 30 menit : Privat (untuk belajar Iqro’)
4. 10 menit : Klasikal II (untuk BCM)
5. 05 menit : Penutup (untuk berdo’a, baca ikrar dan
salam)
Dari pembagian waktu di atas dapat diketahui bahwa untuk pengajaran membaca
Al-Qur’an (belajar “Iqro”‘) dilakukan secara privat (individual), artinya tiap
anak dihadapi oleh satu guru. Masing-masing anak mendapat jatah waktu antara 5
sampai 8 menit, dengan cara bergantian. Dengan demikian, waktu untuk belajar
membaca tidak lebih dari 10 menit tiap kali pertemuan. Waktu 10 menit adalah
merupakan waktu maksimal daya konsentrasi anak usia TK. Bagi anak yang akan
atau telah belajar membaca, sambil menunggu temannya selesai diajar membaca,
diberi kegiatan yang rekreatif seperti menulis, menggambar, memberi warna,
menata huruf dalam puzzel dan sebagainya.
Dengan pola kegiatan seperti di atas ini, ternyata TK. Al-Qur’an “AMM” telah
berhasil mengantarkan anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an dalam waktu yang
relatif singkat. Karena keberhasilannya inilah barangkali yang mendorong daerah
lain ikut mengembangkannya. Sehingga pada akhir tahun 1995 yang lalu tercatat
tidak kurang dari 30.000 unit TKA/TPA dengan 6 juta santri yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air
(Suara Hidayatullah No. 11/VIII/Sy-awal 1416
H/Maret 1996).
Sebagai bukti monumental terhadap pengakuan umat Islam dan pemerintah kepada
keberhasilan TK. Al-Qur’an dalam mengantarkan para anak didiknya mampu membaca
Al-Qur’an, adalah peristiwa “Wisuda Santri TKA-TPA Nasional I” yang berlangsung
di Auditorium Graha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, pada hari Rabu, 28 Juni 1995.
Pada acara itu, telah diwisuda 700 santri cilik usia 5,0 – 7,5 tahun yang
datang mewakili teman-temannya dari seluruh propinsi di Indonesia, termasuk
Timor Timur dan Irian Jaya, sebagai tanda telah mahirnya mereka membaca
Al-Qur’an. Berkenan hadir dan mewisuda saat itu, 5 orang Menteri sekaligus,
yaitu Menko Kesra Ir. Azwar Anas, Menteri Agama dr. Tarmizi Taher, Menteri
Kependudukan/Kepala BKKBN Dr. Haryono Soeyono, Menteri Koperasi dan Industri
Kecil Soebijakto Tjakrawerdaja dan Menteri Pertanian Dr. Syarifuddin Baharsyah.
Disamping itu juga hadir Gubernur DIY, Gubernur Kalimantan Timur, beberapa
orang anggota DPR RI, utusan negara-negara sahabat, dan juga 30 mahasiswa
Institut Teknologi Mara Malaysia sebagai pengamat
(Harian Umum “Yogya
Post”,
29 Juni 1995).
Sehari kemudian, tepatnya tanggal 29 Juni 1995, bersamaan dengan peringatan
Hari Keluarga Nasional (Harganas) II, di lapangan parkir Monumen Yogyakarta
Kembali, Presiden Soeharto berkenan pula mewisuda secara simbolis 2 orang
santri TK. Al-Qur’an yang mewakili teman-temannya di seluruh tanah air, sebagai
tanda telah mahirnya mereka membaca Al-Qur’an. Bapak Presiden menyatakan
kegembiraannya yang luar biasa, seraya berkata: “Upaya ini saya minta
diteruskan, agar bangsa kita yang memiliki Pancasila sebagai dasar falsafah
negara benar-benar mendalam rasa keagamaannya”
(Harian Umum “Republika”, 30
Juni 1995).
Demikianlah beberapa bukfi keberhasilan TK. Al-Qur’an, sehingga saat ini
tidak lagi merupakan hal yang luar biasa bila kita menyaksikan anak-anak usia
di bawah 7 tahun telah mahir membaca Al-Qur’an. Apa rahasianya? Setelah saya
melihat dari dekat proses pembelajaran baca Al-Qur’annya di TK. A “AMM”,
dapatlah disimpulkan bahwa kunci keberhasilannya terletak pada:
1. Buku “Iqro”‘ Yang Digunakan
Dalam proses pengajaran membaca Al-Qur’an, buku pegangan yang digunakan
adalah buku “Iqro”‘. Buku yang disusun oleh KH. As’ad Humam ini, dicetak dalam
6 jilid buku kecil. Tiap jilid rata-rata memiliki 34 halaman, dengan sampul
yang warna-warni. Jilid-jilid tersebut disusun berdasarkan urutan dan tertib
materi yang harus dilalui secara bertahap oleh masing masing anak. Jilid 1
berisi pengenalan huruf-huruf tunggal dengan harokat fathah, Jilid 2
huruf-huruf bersambung, demikian seterusnya sampai jilid 6 yang sudah semakin
komplek. Bagi anak yang telah menyelesaikan jilid 6 bila mengajarkannya sesuai
dengan petunjuk, dipastikan ia telah mampu membaca Al-Qur’an pada halaman mana
saja.
Cara mengajarkan buku “Iqro”‘ berbeda dengan buku “Al-Qowaidul Baghdadiyah”.
Anak harus mengenal nama-nama huruf lebih dahulu, dan kemudian mengejanya (alilf
fathah A, alif kasroh 1, alilf dlomah U, A-I-U) dan seterusnya. Sedang dalam
buku “Iqro”‘ yang dipentingkan adalah anak bisa baca walaupun tidak mengenal
nama hurufnya (langsung bunyi bacaannya) dan tidak mengejanya. Bahkan selama
anak masih belajar Iqro’ belum dikenalkan dengan istilah-istilah ilmu tajwid,
tetapi yang dipentingkan adalah anak bisa membaca Al-Qur’an sesuai dengan
kaidah-kaidah tajwid. Yang dipentingkan praktek bacanya bukan teori bacaannya.
(lihat lembar “Kunci Sukses Pengajaran Buku Iqro’” sebagaimana yang terlampir
dalam makalah ini).
Ditinjau dari segi psikologi belajar, nampak sekali bahwa tahapan dan cara
yang demikian akan lebih mudah bagi anak dibanding dengan tahapan dan cara yang
ada dalam buku “Al-Qowaidul Baghdadiyah”. Ini karena berfikirnya yang lebih
sederhana, lebih singkat, praktis dan menghindari verbalisme.
2. Sistem Privat
Pada TK. Al-Qur’an “AMM”, pertama kali anak dikelompokkan dalam kelas-kelas
sesuai dengan tingkatan umurnya masing-masing, kemudian diajar dengan sistem
campuran antara klasikal dan privat (individual). Klasikal untuk mengajar-kan
materi-materi penunjang (hafalan, dan sebagainya), sedang individualnya
diperuntukkan mengajarkan materi Iqro’” (materi pokok/materi pengajaran membaca
Al-Qur’an). Masing-masing anak diajar membaca “Iqro”‘ antara 5-8 menit saja
secara bergantian. Karena individual, maka akan terjadi kemampuan “Iqro”‘ nya
masing-masing anak dalam satu kelas tidak sama. Anak yang cerdas dan rajin akan
cepat menyelesaikan buku “Iqro”‘, dan anak yang kurang cerdas dan kurang rajin
akan relatif lebih lambat. Dengan demikian, maka tidak akan terjadi “pemaksaan”
terhadap kemampuan anak. Jadi anak yang cerdas diikuti irama kecerdasannya dan
anak yang bodoh diikuti pula irama kebodohannya.
Disinilah nampaknya keistimewaan sistem TK. Al-Qur’an dengan “Iqro”‘ nya
dibandingkan dengan sistem dan metode yang lainnya. sehingga TK. Al-Qur’an
memungkinkan untuk diikuti anak usia pra sekolah sekalipun, tanpa menimbulkan
gangguan kejiwaan (pemaksaan/stress).
3. Pendekatan Guru
Team Tadarus “AMM” sebagai penyelenggara TK. Al-Qur’an “AMM” ini cukup jeli
dalam memilih calon-calon guru. Guru diutamakan yang berwajah keibuan atau
kebapakan, baru kemudian syarat-syarat yang lainnya. Wajah keibuan atau
kebapakan adalah merupakan modal dasar bagi kedekatan anak dengan guru.
Disamping itu, jumlah guru senantiasa diusahakan cukup (perbandingan guru:
murid adalah 1:6), dengan harapan agar masing-masing anak bisa mendapat
perhatian yang cukup dari guru.
Berikut ini adalah beberapa sikap yang menunjukkan kedekatan dan cara
pendekatan guru terhadap anak yang terekam dalam observasi saya:
a. Suasana akrab
Suasana akrab antara guru dengan anak ini nampak dalam sikap dan pergaulan
sehari-hari, tidak terbatas di ruangan kelas saja. Guru senantiasa memberi
salam lebih dahulu kepada anak, berjabat tangan, menyentuh-nya dengan lembut,
menyapanya dengan tersenyum dan menyebut anak dengan mesra.
b. Tidak terpaksa dan tidak
memaksa
Semua pihak nampaknya menyadari bahwa yang dilihat anak bukanlah ilmu dan
kecerdasan guru tetapi wajah dan ketulusan hatinya. Untuk itu, guru tidak akan
mengajar pada saat sangat lelah, tidak tenang dan banyak persoalan. Demikian
pula pada saat ada anak yang kelihatan lelah, mengantuk dan “mogok” (tidak mau
membaca), maka gurupun tidak akan memaksanya, dan menunda dulu sampai anak
timbul minatnya kembali. Diantara guru nampaknya terdapat guru yang punya
ketrampilan mendekati anak-anak yang mogok atau yang bermasalah lainnya.
c. Mendahulukan kata
“ya” daripada “jangan”
Dalam pengajaran membaca, demikian pula dalam pengajaran yang lainnya, bila
anak betul dan tepat dalam melakukannya guru tidak segan-segan untuk memujinya
dengan kata-kata: ya, bagus, cantik, terus dan sebagainya. Sedangkan bila anak
keliru atau salah dalam melakukannya, guru tidak akan mencela, mengejek atau
melarangnya dengan kata-kata: “jangan begitu”, tetapi dengan kata-kata
“sebaiknya begini”.
4. Suasana Sebagai Taman
Proses belajar mengajar, apapun bentuk dan materi pengajarannya, akan
ditunjang pula oleh suasana lingkungan yang ada. Di TK. Al-Qur’an “AMM” ini,
suasana lingkungan sebagai sebuah “taman” benar-benar mendapat perhatian.
Ruangan yang ditata apik, gedung yang representatif, kebersihan yang terjaga,
halaman bermain yang cukup, ada masjid dengan perpustakaannya, penampilan
guru-gurunya yang memadai, semuanya itu membuat anak-anak betah dan tidak jemu.
5. Suasana Bermain
Dunia anak adalah dunia bermain. Hal ini nampak disadari oleh para pengelola
dan semua pihak yang terlibat, Untuk itu, dalam proses pengajaran membacanyapun
tidak lepas pula dari dunia bermain. Misalnya untuk mengenalkan nama-nama
huruf, diciptakanlah syair nyanyian yang lagunya meminjam lagu-lagu yang
populer di dunia anak-anak. Bentuk-bentuk hurufpun tidak luput dari kiat-kiat
tertentu sehingga menarik buat anak-anak, seperti huruf “shod” dibuat mirip
dengan gambar angsa dan sebagainya.
Di TK. Al-Qur’an dikenal istilah BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) atau
APEI (Alat Permainan Edukatif yang Islami) seperti tepuk Islam, lari syahadat,
tepuk malaikat, ular tangga muslim, menata huruf dan sebagainya.
Permainan-permainan itu diciptakan sedemikian rupa agar menunjang atau
mempercepat kemampuan anak dalam membaca. Jadi ada suasana belajar sambil bermain.
Demikianlah beberapa kunci keberhasilan TK. Al-Qur’an dalam pengajaran
membaca (Al-Qur’an) bagi anak-anak usia pra sekolah yang tertangkap dalam
kunjungan (observasi) yang selintas ini. Saya menyadari bahwa di sana masih
terpendam kunci-kunci yang lain yang belum bisa terungkap. Untuk itu semoga
tulisan ini mendorong para ahli untuk megadakan penelitian lebih lanjut.
V. PENUTUP
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa bila menggunakan sistem dan
metode yang tepat serta ditunjang oleh pendekatan guru yang tepat pula, maka
anak usia pra sekolah akan mampu menerima pengajaran membaca (Al-Qur’an) tanpa
ada rasa keterpaksaan sedikitpun. Untuk itu, persoalannya bukanlah usia berapa
anak mulai bisa diajar membaca, tetapi persoalannya adalah tergantung pada
sistem dan metode yang digunakan. Jangankan anak usia pra sekolah (4,0
-6,0.tahun) anak usia SD (7,0 -10,0 tahun) sekalipun tentu akan stres bila
diajar membaca (Al-Qur’an) dengan menggunakan sistem dan metode yang tidak
tepat.
Jadi, bila dulu ada ahli yang melarang mengajarkan membaca (Al-Qur’an) untuk
anak usia TK., tiada lain adalah pada saat itu belum ditemukan sistem dan
metode yang tepat untuk itu. Demikian pula kalau sekarang ada sementara ahli
yang mengkawatirkan terjadinya “pemaksaan” pada anak-anak yang belajar di TK.
Al-Qur’an, hal itu tiada lain disebabkan mereka belum melihat dari dekat
bagaimana proses pengajarannya berlangsung.
Memang benar kita tidak boleh memaksa anak TK. untuk belajar membaca
(Al-Qur’an); namun juga kita tidak boleh memaksa anak TK. untuk tidak belajar
membaca (Al-Qur’an). Karena:
Anak kecil ingin belajar membaca
Anak kecil dapat belajar membaca.
Anak kecil sedang belajar membaca
Anak kecil perlu belajar membaca
(Glen Doman, 1987: 26)
Memang benar apa salahnya kita memulai mengajarkan membaca (Al-Qur’an)
setelah anak memasuki usia pasca TK.: namun juga apa salahnya kita memulai
mengajarkan membaca (Al-Qur’an) semenjak anak dalam usia pra sekolah
kalau ternyata hal itu bisa kita lakukan! Untuk apa menunda-nunda?
Yang penting buat kita adalah menyediakan sistem dan metode yang tepat untuk
usia mereka !
Yogyakarta, Syawal; 1417 H
Penyusun,
(Drs. H.M. Budiyanto)
DAFTAR PUSTAKA
“Abdur Rahman An-Nahlawi,
1979.
Ushulut Tarbiyatul Islamiyah wa Asalibuha. Damsyik
: Darul Fikri
Abdullah Nasikh Ulwan,
1985.
Tarbiyatul Aulad fil Islam. Beirut:
Darus Salam
Abu Tauhied, H,
1990.
Beberapa Aspek Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Sekretariat ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.
Ahmad Salabi,
1973.
Sejarah Pendidikan Islam Penerjemah:
Muhtar Yahya. Jakarta. Bulan Bintang
Anwar Jundi,
1975.
At-tarbiyah wa Bina’Ul Ajyal fi Dlouil
Islam. Beirut. Darul Kitab
As’ad Humam, dkk ,
1995.
Pedoman Pengelolaan, Pembinaan Dan
Pengembangan M3A. Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional.
Athiyah Al-Abrosyi,
1964.
At-Tarbiyatul Islamiyah. Kairo:
Darul Qoumiyah.
Badko TKA-TPA Propinsi DIY.,
1993.
Haflah Khotmil Qur’an Yogyakarta:
bagian Dokumentasi Badko TKA-TPA Propinsi DIY
Glen Doman,
1987.
Mengajar Bayi Anda Membaca Penerjemah:
Ismail Marahimin. Jakarta: PT Gaya
Favorit Press.
Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi,
1992.
Manhajut Tarbiyatil Nabawiyah lith Thifli. Kuwait:
Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah