Jumat, 27 April 2012

PENDAFTARAN SANTRI BARU 2012/2013

TPQ ALADZKIYAA membuka pendaftaran santri baru tahun ajaran 2012/2013
Mei-Juni

A. Persyaratan Calon santri
1. Usia minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun untuk TKQ-TPQ
2. Menyerahkan foto kopi akta kelahiran
3. Menyerahkan foto kopy kartu keluarga
4. Pas Foto ukuran 3X4 ( 2 Lembar ) 2X3 ( 2 lembar )
5. Mengisi formulir pendaftaran
6. Bersedia membayar Infaq Cinta Alqur'an

B. Perlengkapan santri
1. Buku Iqro
2. Alqur'an
3.Buku dan Alat Tulis
4. Perlengkapan Sholat
5. Ikhwan / laki-laki : baju Taqwa/ koko, peci ( tidak diperkenankan memakai celana jeans )
6. Akhwat / Perempuan : Baju gamis, menutup aurat , kerudung / jilbab( tidak diperkenankan memakai rok )

Informasi lebih lengkap silahkan menghubungi :

Yanti 082111334936
Zulfa 085810345510
Iin    08174943039

Formulir pendaftaran    : Rp. 10.000
Investasi pengembangan pendidikan : Rp. 200.000 / tahun ( bisa dicicil )

Senin, 23 April 2012

Open House TPQ Ahad 22 April 2012
           Alhamdulillah Allah telah memudahkan niat baik di pagi ini,di pelataran masjid Al Adzkiyaa ( taman  bermain)  ban mobil bekas donasi dari salah seorang warga sudah dapat dipergunakan untuk sarana bermain santri TPQ, belum juga kering semen yang merekatkan ban santri sudah tidak sabar menggunakannya, beberapa orang yang melihat sontak memberikan aba- aba mengingatkan mereka.Santri ini patuh dan tidak melanjutkan aksinya, subhanallah!
       Pagi beranjak siang saat matahari mulai terik orangtua/ wali santri mulai berdatangan di TPQ,satu persatu mereka duduk diatas karpet biru yang nyaman donasi dari salah seorang warga.sementara itu diatas atap bapak bapak pengurus masjid merapikan genteng yang berantakan dan mengganti dengan yang baru, tak tanggung-tanggung ada 10 genteng yang diganti genteng yang lebih baik.
        Suasana kekeluargaan terasa diruangan TPQ, lebih syahdu lagi saat dibacakan taujih Robbani juz pertama surat Al Baqarah.Seiring dengan waktu siang orang-orang yang hadir diruangan semakin antusias dan bersemangat, diskusi dalam rangka menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pun semakin hangat. Harapan dan rencana -rencana disusun disepakati bersama untuk menata TPQ Aladzkiyaa.InsyaAllah TPQ AlAdzkiyaa akan buka pendaftaran santri tahun ajaran 2012-2013 M mulai bulan Mei, mulai usia 4-6 Tahun dan 7-12 tahun. Belajar dimulai pukul 15.45 WIB - 17.30 WIB secara. pembelajaran dengan sistem klasikal dan individual dengan mengacu pada Kurikulum dan silabus TKA/TKQ TPA-TPQ.Guru-guru atau ustadz ustadzah dipersiapkan dengan baik untuk mendidik ananda. Persatuan Orang tua santri juga sudah terbentuk yang nantinya akan membantu mengawal pengelolaan TPQ dari luar juga membantu mesinergikan program - program TPQ kepada Orang Tua.
          Bertahap kita berkomitmen insyaAllah akan terus membenahi dan memperbaiki kualitas pendidikan serta mendorong TPQ disekitar AlAdzkiya untuk maju bersama.
Hanya kepada Allah sajalah kita bergantung dan memohon pertolongan, semoga niat baik ini menjadi jalan kebaikan menuju Ridho-Nya. Amien

Minggu, 15 April 2012

KURIKULUM TPQ


Santri dinyatakan lulus dari TP  Al-Qur’an apabila mampu:
1.      Membaca Al-Qur’an sesuai kaidah ilmu tajwid dengan benar dan baik
2.      Mengerjakan wudlu dan sholat dengan baik dan benar
3.      Menghafal Bacaan Sholat
4.      Menghafal Surah pendek, minimal 12 surah
5.      Menghafal doa-doa harian dan mengerti etika (adab)nya, minimal 15 doa
6.      Memiliki dasar-dasar aqidah dan akhlaq
7.      Menghafal beberapa ayat pilihan, minimal … ayat
8.      Menguasai dasar-dasar Ulumul Qur’an
9.      Menyambung huruf Hijaiyah
 
TP Al-Qur’an PAKET A
Kurikulum pendidikan di TP Al-Qur’an paket A wajib memuat :
1.      Pembelajaran membaca Al – Qur’an .
2.      Praktek wudhu dan shalat fardhu .
3.      Hafalan bacaan sholat .
4.      Hafalan surah – surah pendek .
5.      Hafalan doa dan etika sehari – hari .
6.      Pemahaman dasar Aqidah dan Akhlak .
7.      Pengenalan huruf Hijaiyah dan angka Arab .
8.      Kisah – kisah teladan .
D. TP Al-Qur’an PAKET B (TP Al-Qur’an Lanjutan)
Kurikulum pendidikan di TP Al-Qur’an paket B wajib memuat :
1.      Tadarus Al – Qur’an sesuai kaidah ilmu tajwid
2.      Ilmu Tajwid .
3.      Hafalan ayat – ayat pilihan .
4.      Dasar – dasar ulumul Qur’an .
5.      Menulis dan menyambung huruf Hijaiyah
6.      Hafalan doa dan etika sehari – hari .
7.      Dasar – dasar dienul Islam .
8.      Pemahaman ayat–ayat Al–Qur’an dan Hadist tentang keimanan dan keislaman
9.      Kisah – kisah Teladan .


STANDAR PROSES PEMBELAJARAN
1.      Pembelajaran TK/TP al-Qur’an  dilakukan melalui pendekatan klasikal dan privat
2.      Bahan ajar disesuaikan dengan kurikulum sesuai dengan tingkatannya
3.      Metode pembelajaran disesuaikan dengan usia perkembangan anak dengan memperhatikan prinsip ”bermain sambil belajar” atau ”belajar seraya bermain”
4.      Media pembelajaran hendaklah menarik dan menyenangkan anak, aman dan tidak membahayakan, memenuhi unsur keindahan dan kerapihan, dapat membangkitkan kreativitas anak, dan mendukung paket pengajaran yang diprogramkan
5.      penilaian mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang dilakukan secara berkelanjutan
 
KALENDER PENDIDIKAN
A. Dasar Penentuan kalender pendidikan
Penetapan kalender pendidikan hendaknya memperhatikan beberapa hal, antara lain:
1.      Kesesuaian dengan kalender pendidikan sekolah formal
2.      Menerapkan sistem semester
3.      Lembaga atau unit diperkenankan menentukan kelender akademik masing-masing
B. Penerimaan santri baru
1.      Penerimaan santri baru dilaksanakan pada awal tahun ajaran.
2.      Masa pendaftaran santri baru secara umum berlangsung pada Mei hingga pertengahan Juli
3.      Lembaga atau unit diperkenankan menerima santri baru secara khusus yang berlaku setiap saat
C. EVALUASI
Evaluasi terdiri atas:
1.   Evaluasi harian
2.   Ujian Akhir Semester
3.   Munaqasah Akhir Belajar
D. Pembagian Raport
Pembagian raport dilaksanakan pada tiap akhir semester sesudah pelaksanaan ujian akhir semester
E. Pembagian Ijazah
Pembagian ijazah dilaksanakan setelah menyelesaikan munaqasah akhir. Munaqasah merupakan kegiatan akhir tahun ajaran sebagai salah satu persyaratan mengikuti WISUDA
F. Waktu libur semester
Libur semester dilaksanakan setelah pembagian raport
G. WISUDA SANTRI
Wisuda santri adalah bagian kegiatan puncak dari Kegiatan Belajar Mengajar yang merupakan penghargaan karena santri sudah mencapai kelulusan di tingkatnya, dengan mengacu pada standar kelulusan yang telah ditetapkan


Rabu, 11 April 2012

AYAH TERLIBAT TERIKAT, TERIKAT TERLIBAT
Beberapa aktifitas dibawah ini sekedar inspirasi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
Datang ke sekolah / TPQ untuk menjadi asisten guru :
  • Berbagi informasi dengan siswa tentang satu hobi
  • Berbagi informasi dengan siswa tentang satu profesi
  • Berbagi informasi dengan siswa tentang satu negara yang pernah dikunjungi atau pernah tinggal
  • Menjadi tutor membaca atau menulis kreatif
  • Membantu membangun sesuatu
  • Membantu menjahit atau mengecat papan atau dinding
  • Membantu memasakkan makanan daerah
  • Membawa penduduk lanjut usia untuk melihat pameran di sekolah
Membantu mengatur kesempatan belajar di komunitas :
  • Menyiapkan tempat untuk anak dapat mengamati atau berlatih keterampilan hidup di lingkungan sosial
  • Menjadi pembimbing saat perjalanan menuju satu pusat belajar  
Meningkatkan sumber dana untuk membantu sekolah / TPQ :
  • Membantu menulis proposal yang dapat menambah sumber dana untuk sekolah
  • Membantu mencarikan dana untuk sekolah
  • Mencarikan organisasi yang dapat memberikan donasi ke sekolah
Membantu ayah lain untuk mengembangkan kemampuan mengasuh anak :
  • Membantu ayah lain untuk menjadi ayah yang lebih kuat
  • Membantu membuat film pengasuhan untuk ayah, agar dapat membantu ayah lain menjadi lebih efektif sebagai ayah
  • Membuat lembaran untuk ayah
sumber : lembar kiat orang tua hebat

  • Meningkatkan Sumber dana untuk membantu sekolah / TPQ
  • Membantu menulis

Kamis, 05 April 2012

Hymne TKQ / TPQ

HYMNE TKQ/TPQ

Sejak kecil kami baca
Al-QUr'an pedoman kami
Agar terang jiwa raga
Selamat dunia akhirat

Ya..Allah curahkanlah
Rahmat-Mu pada kami
Tekad kami putra-putri
Santri TKQ/TPQ
Pegang teguh qur'an suci
Mengharap ridho Illahi...
STRUKTUR KEPENGURUSAN

 KETUA IGTKA KECAMATAN GUNUNG SINDUR
Penanggung Jawab     : Takmir Masjid Al Adzkiyaa       Penasehat : Persatuan Wali Santri
Direktur                     : Abdul Ghofar
Wakil Direktur           : Iin Prihatin

Sie Sarana Prasarana : Tomi
                                    Mega
Sie Keuangan dan Dana : Ambo Sape
                          
Kepala Unit               :
Sekretaris                  : Sulaiman Anjarang
Bendahara                 : Kholida
Koordinator Pengembangan Kurikulum :
Koordinator Pengasuhan Santri             :
Koordinator HUMAS                           :
Pengajar / Ustadz-Ustadzah                   : Zulfa
                                                               Tia
Santriwan / Santriwati                            :

EMPAT KEJAHATAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

Empat Kejahatan Orang Tua Terhadap Anak

20/2/2008 | 11 Safar 1429 H | Hits: 21.984
Oleh: Mochamad Bugi
Kirim Print
dakwatuna.com - Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah saw. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).
Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).
Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).
Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).
Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak
Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).
Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.
Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.
Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).
Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)
Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi; Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.
Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.
Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).
Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/403/empat-kejahatan-orang-tua-terhadap-anak/#ixzz1r9F1XRMd

NAMA YANG BAIK ADALAH DOA

Pengaruh Nama Pada Anak

9/4/2008 | 02 Rabbi al-Thanni 1429 H | Hits: 22.445
Oleh: Anna Mariani Kartasasmita, SH. MPsi.
Kirim Print
dakwatuna.com - Para ahli sosiologi berpendapat bahwa nama yang berikan orangtua kepada anaknya akan mempengaruhi kepribadian, kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana cara orang menilai diri si pemilik nama.
Banyak alasan dan pertimbangan para orangtua dalam memilihkan nama anak. Ada yang menyukai anaknya memiliki nama yang unik dan tidak ‘pasaran’. Mungkin mereka tidak suka membayangkan ketika nama anaknya dipanggil di depan kelas, ternyata ada lima orang anak yang maju karena kebetulan namanya sama. Ada yang lebih suka anaknya memiliki nama yang singkat dan mudah diingat. Orangtua seperti ini akan beralasan, “Toh nanti anakku akan dipanggil dengan nama bapaknya di elakang namanya.” Walaupun pernah kejadian orang Indonesia yang diharuskan mengisi suatu formulir di negara Eropa agak kebingungan karena diharuskan mengisi kolom nama keluarga. Padahal sebagaimana juga kebanyakan orang Indonesia, nama yang ada di kartu indentitasnya hanya nama tunggal, tanpa nama keluarga atau bin/binti.
Beberapa orangtua lain memilihkan nama yang megah untuk buah hati mereka. Sementara bagi kalangan tertentu ada kepercayaan jika anak ‘keberatan nama’ nanti bisa sakit-sakitan. Sebagian orang ada yang menganggap nama sebagai sesuatu yang biasa, sekedar identitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ada lagi yang memilihkan nama untuk anaknya berdasarkan rasa penghargaan terhadap seseorang yang dianggap telah berjasa atau dikagumi. “As a tribute to,” demikian alasannya.
Sebagai orangtua, kita perlu tahu makna dari sebuah nama dan mempertimbangkan yang terbaik untuk anak kita. Bayangkan bahwa anak kita akan menyandang nama tersebut sejak tertulis di akte kelahiran, hingga di hari akhir nanti.
Bagi umat muslim, nama adalah doa yang berisi harapan masa depan si pemilik nama. Para calon orang tua yang peduli tidak hanya berusaha memilih nama yang indah bagi anaknya, tapi juga nama yang memiliki arti yang baik dan memberikan dampak atau sugesti kebaikan bagi anak. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan beberapa hal penting tentang pemberian nama kepada anak.
Menurut beliau kita para orangtua hendaknya:
1. Memberikan nama segera setelah bayi dilahirkan. Lamanya berkisar antara sehari hingga tujuh hari setelah dilahirkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Tadi malam telah lahir seorang anakku. Kemudian aku menamakannya dengan nama Abu Ibrahim.” (Muslim).
Dari Ashhabus-Sunan dari Samirah, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan (binatang) baginya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran)nya, diberi nama, dan dicukur kepalanya pada hari itu.”
2. Memperhatikan petunjuk pemberian nama, dengan mengatahui nama-nama yang disukai dan dibenci. Ada pun nama-nama yang dianjurkan Rasulullah saw. adalah:
  • Nama-nama yang baik dan indah. Rasulullah saw. menganjurk, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nam bapak-bapak kamu sekalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kamu sekalian.”
  • Nama-nama yang paling disukai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman.
  • Nama-nama para nabi seperti Muhammad, Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain.
Sedangkan nama-nama yang sebaiknya dihindari adalah:
  • Nama-nama yang dapat mengotori kehormatan, menjadi bahan celaan atau cemoohan orang.
  • Nama yang berasal dari kata-kata yang mengandung makna pesimis atau negatif.
  • Nama-nama yang khusus bagi Allah swt. seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan lain-lain.
Pengaruh nama pada anak
Orangtua seharusnya berusaha memberikan sebutan nama yang baik, indah dan disenangi anak, karena nama seperti itu dapat membuat mereka memiliki kepribadian yang baik, memumbuhkan rasa cinta dan menghormati diri sendiri. Kemudian mereka kelak akan terbiasa dengan akhlak yang mulia saat berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya.
Anak juga perlu mengetahui dan paham tentang arti namanya. Pemahaman yang baik terhadap nama mereka akan menimbulkan perasaan memiliki, perasaan nyaman, bangga dan perasaan bahwa dirinya berharga.
Bagi lingkungan keluarga, adalah hal yang penting untuk menjaga agar nama anak-anak mereka disebut dan diucapkan dengan baik pula. Sebab ada kebiasaan dalam masyarakat kita yang suka mengubah nama anak dengan panggilan, julukan, atau nama kecil. Sayangnya nama panggilan ini terkadang malah mengacaukan nama aslinya. Nama panggilan ini kadang selain tidak bermakna kebaikan juga bisa mengandung pelecehan. Hal ini kadang terjadi karena nama anak terlalu sulit dilafalkan, baik oleh orang-orang disekitarnya bahkan bagi sang anak sendiri.
Nama yang terdiri dari tiga suku kata atau lebih akan membuat orang menyingkat nama tersebut menjadi satu atau dua suku kata. Misalnya Muthmainah akan disingkat menjadi Muti atau Ina. Sedangkan nama yang memiliki huruf ‘R’ biasanya akan lebih sulit dilafalkan anak yang cenderung cedal pada usia balita. Maka nama-nama seperti Rofiq (yang artinya kawan akrab) akan dilafalkan menjadi Opik, nama Raudah (taman) dilafalkan menjadi Auda.
Nama yang unik dan berbeda apalagi megah, mungkin memiliki keuntungan tersendiri. Namun nama yang demikian dapat menyebabkan beberapa masalah. Nama yang sulit diucapkan dapat membuat orang-orang sering salah mengucapkan atau menuliskannya. Ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering memberikan penilaian negatif pada seseorang yang memiliki nama yang aneh atau tidak biasa. Dr. Albert Mehrabian, PhD. melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah nama mengubah persepsi orang lain tentang moral, keceriaan, kesuksesan, bahkan maskulinitas dan feminitas. Dalam pergaulan anak yang memiliki nama yang tidak biasa mungkin akan mengalami masa-masa diledek atau diganggu oleh teman-temannya karena namanya dianggap aneh. Pernah mendengar ada seseorang yang bernama Rahayu ternyata seorang laki-laki?
Jika ingin menamai anak dengan nama orang lain, ada baiknya memilih nama orang yang sudah meninggal dunia dan telah terbukti kebaikannya. Jika orang tersebut masih hidup, dikuatirkan suatu saat orang tersebut berubah atau mengalami kehidupan yang tercela. Sudah banyak contoh orang-orang yang pada sebagian hidupnya dianggap sebagai orang besar, ternyata di kemudian hari atau di akhir hayatnya digolongkan sebagai orang yang banyak dicela masyarakat. Kita harus menjaga jangan sampai anak kita menanggung malu karena suatu saat dirinya diasosiasikan dengan orang yang tidak baik.
Beruntunglah kita, karena di Indonesia nama-nama Islami sangat biasa dan banyak. Sehingga tidak ada alasan merasa malu atau aneh memiliki nama yang Islami. Hanya saja mungkin dari segi kepraktisan perlu dipertimbangkan nama anak yang cukup mudah diucapkan, tidak terlalu pasaran tapi tidak aneh, dan sebuah nama yang akan disandang anak kita dengan bangga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa nanti. Wallahu alam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/04/494/pengaruh-nama-pada-anak/#ixzz1r9EVIFFU

PONDASI ITU NAMANYA IMAN

Menanam Dasar-Dasar Iman Pada Anak

21/5/2008 | 16 Jumada al-Ula 1429 H | Hits: 13.649
Oleh: Mochamad Bugi
Kirim Print
Anak Shalat Berjama'ahdakwatuna.com – Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.
Yakinlah, lembaga sekolah tidak bisa menjamin bisa menggantikan tugas penting orang tua itu. Tapi, mungkin sekolah bisa memberi pengayaan pengetahuan tentang data-data yang menguatkan akidah dan pokok-pokok ajaran agama kepada anak-anak kita.
Menanamkan akidah ke dalam hati anak-anak kita memang bukan pekerjaan instant. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Tapi yakinkan kepada anak kita bahwa sekarang mungkin mereka tidak mengerti, seiring dengan waktu dan berkembangnya pikiran mereka, kelak mereka akan paham.
Pemahaman akidah yang seperti apa yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini? Tentu saja tentang Allah swt., tentang kitab-kitab samawi, tentang malaikat, tentang nabi dan rasul, tentang hari akhir. Tentu saja perlu bahasa sederhana untuk menyampaikan hal-hal yang badihi (aksiomatik) tentang itu semua.
Sebagai contoh, kenalkan kepada anak kita tentang hal-hal berikut ini.
1. Allah adalah Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai Dia.
2. Setiap makhluk, termasuk anak kita, butuh kepada Allah swt. dan Allah swt. tidak butuh kepada selain diri-Nya.
3. Mengesakan Allah dalam ibadah adalah wajib.
4. Rahmat Allah swt. sangat luas sedangkan siksa-Nya sangat pedih.
5. Allah swt. mencintai hambanya yang taat dan membenci orang yang maksiat.
6. Dalam beribadah kepada-Nya, kita tidak membutuhkan perantara.
7. Hanya kepada Allah swt., kita meminta. Tidak kepada yang lain.
8. Tidak ada ketaatan terhadap makhluk jika harus bermaksiat kepada Allah swt.
9. Kita hanya diajurkan untuk memikirkan makhluknya, tidak memikirkan Dzat Allah swt.
10. Dia Allah swt. yang memberi manfaat dan mudharat. Tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat tanpa seizin-Nya.
11. Kita mengimani bahwa Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia.
12. Semua Rasul menyuruh kepada tauhid dan beriman kepada Allah swt.
13. Para Rasul adalah maksum (terpelihara) dari dosa dan kemaksiatan.
14. Rasul kita adalah Muhammad saw. yang diutus untuk seluruh manusia, sedangkan rasul-rasul sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya saja.
15. Jumlah Rasul banyak, dan hanya 25 orang dari mereka yang telah dikisahkan oleh Allah kepada kita melalui Al-Qur’an.
16. Rasul yang tergolong ulul ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati) ada lima orang, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw.
Masih banyak lagi hal-hal yang aksiomatik dalam akidah Islam yang bisa kita tanamkan kepada anak-anak kita. Tapi, jangan sampai kita menyampaikan hal-hal yang menjadi perselisihan di kalangan ulama agar mereka tidak bingung.
Alhamdulillah, saat ini sudah banyak buku-buku, nasyid (lagu-lagu), dan VCD yang berisi pelajaran tentang akidah dengan bahasa yang sederhana. Kita bisa memakainya sebagai sarana. Ingat, kita memakai semua sarana itu untuk mengajarkan akidah kepada anak-anak kita, bukan membiarkan anak kita bersama dengan sarana-sarana itu. Sebab, sarana (baca: alat) tidak bisa mengajarkan tanpa ada yang aktif menggunakan sarana itu mengajarkannya (baca: guru). Jadi, peran kita, orang tua, tidak pernah tergantikan dengan apa pun!
Semoga kita bisa menunaikan tugas ini. Jika Allah swt. bertanya nanti di hari penghitungan amal, kita telah siap dengan jawaban, “Ya Allah, aku telah mengenalkan diri-Mu dan Rasul-Mu kepada anak-anakku siang dan malam.”

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/636/menanam-dasar-dasar-iman-pada-anak/#ixzz1r9E3QAV9

KEKUATAN CINTA

Meletakkan Anak Dalam Pelukan atau Pangkuan

10/10/2011 | 13 Dhul-Qadah 1432 H | Hits: 3.503
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah
Kirim Print
Ilustrasi (nuraurora.wordpress.com)
عن عائشة ـ رضي الله عنها ـ ” أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وضع صبياً في حجره يُحنكه ، فبال عليه ، فدعا بماء فأتبعه ” رواه البخاري .
dakwatuna.com - Dari Aisyah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW meletakkan anak kecil di pelukannya kemudian mentahniknya (menyuapi dengan kurma yang telah dikunyahnya), lalu anak itu kencing di pelukannya, lalu meminta air dan mengguyurnya. (HR. Al Bukhari)
Penjelasan:
عن عائشة ـ  Istri Nabi Muhammad SAW
أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وضع صبياً  Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW meletakkan anak kecil, yaitu Abdullah bin Az Zubair, seperti yang diriwayatkan oleh Ad Daru Quthniy, atau anak itu adalah Al Husain bin Ali seperti dalam riwayat Al Hakim.
حجره  Ha’ dibaca kasrah, ada pula yang membacanya fathah, dan jim dibaca sukun/mati. Keterangan keadaan ketika Nabi يُحنكه mentahniknya, yaitu menyuapinya kurma setelah kurma itu dikunyahnya, untuk mendapatkan berkah ludah Nabi Muhammad saw, yang bercampur dengan rasa kurma yang manis.
فبال عليه  Lalu anak itu mengencingi bajunya, فدعا بماء فأتبعه lalu Nabi mengguyur bekas kencing itu dengan air.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara lain:
  1. Menyayangi anak kecil, dan memperhatikannya. Nabi Muhammad saw meletakkan anak itu dalam pelukannya dan mentahniknya
  2. Bersabar menghadapi perilakunya, tidak membalasnya, karena belum mukallaf (bertanggung jawab).

عن أسامه بن زيد ـ رضي الله عنهما ـ قال : ” كان رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ يأخذني فيقعدني على فخذه ، ويقعد الحسن ابن عليّ على فخذه الأخرى ، ثم يضمهما ، ثم يقول : اللهم ارحمهما ، فإني أرحمهما ”  رواه البخاري
Dari Usamah bin Zaid RA, berkata: Rasulullah saw pernah mengangkatku dan mendudukkan aku di atas pahanya, dan Hasan bin Ali duduk di paha yang lain, kemudian Rasulullah saw memeluk kami berdua, dan bersabda: Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya aku menyayanginya. (HR. Al Bukhari)
Penjelasan:
عن أسامه بن زيد Dari Usamah bin Zaid bin Haritsah, dipanggil pula
الحِب ابن الحِب      kesayangan putra kesayangan Rasulullah SAW, -lalu Rasulullah mendudukkan aku di atas pahanya dan Al Hasan bin Ali duduk di paha lainnya. Hal ini menunjukkan perhatian dan cinta Rasulullah kepada keduanya.
Usamah lebih tua dari Al Hasan. Mayoritas pendapat tentang umur Al Hasan adalah ketika Rasulullah saw wafat ia berusia  8 (delapan) tahun, sedangkan Usamah ketika itu berusia 19 (sembilan belas) tahun. Rasulullah saw memeluk keduanya kemudian berdoa: ”Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya kami menyayanginya dan mengasihinya.
Hadits ini berisi tentang keutamaan Usamah bin Zaid dan Hasan bin Ali, dengan curahan cinta Rasulullah saw kepada keduanya.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara lain:
Bahwa meletakkan anak kecil di pangkuan adalah salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang. Hal ini membuktikan rasa cinta.
(hdn)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/10/15385/meletakkan-anak-dalam-pelukan-atau-pangkuan/#ixzz1r9DM0QIg

Rabu, 04 April 2012

Membaca Alquran sejak Dini ( diposkan kembali )


I.            PENDAHULUAN

Ada sementara orang yang menyatakan bahwa pengajaran membaca, termasuk didalamnya pengajaran membaca Al-Qur’an, belum waktunya untuk diberi­kan kepada anak-anak usia TK. (pra sekolah). Di usia TK., cukuplah diberikan materi-materi hafalan saja. Pengajaran membacanya, diberikan di usia SD. Usia TK. adalah usia bermain.
Pernyataan ini menggelitik hati saya, benarkah anak usia TK. (4.0 – 6.0 tahun) belum saatnya diajar membaca? Atau lebih khusus lagi, benarkah anak usia TK. (pra sekolah) belum saatnya diajar membaca Al-Qur’an? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan ini. Dalam makalah ini, saya akan mencoba menelusuri pendapat-pendapat para ahli melalui tulisan-tulisan yang ada, kemudian mencoba melihat dari dekat TK. Al-Qur’an “AMM” Kotagede Yogyakarta yang merupakan lembaga pendidikan yang dinilai telah berhasil dalam mengajarkan membaca Al-Qur’an untuk anak usia pra sekolah.
Makalah ini tidak dimaksudkan untuk mengung-kap tingkat keberhasilan TK. Al-Qur’an “AMM” tersebut, karena memang telah diakui oleh masyarakat, tetapi yang diungkap adalah metodologi pengajaran membaca Al-Qur’an yang diterapkan di sana, mengapa bisa berhasil?

II.       PENGAJARAN MEMBACA

Telah kita maklumi bersama, bahwa tatkala Nabi Muhammad SAW berkholwat di gua Hiro’, tiba-tiba malaikat Jibril datang membawa wahyu yang pertama berupa QS. Al-’Alaq: 1-5. Ayat itu selengkapnya berbunyi:

Artinya:  “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan. Dia telah mencip-takan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Yang mengajar manusia (tentang) apa yang tidak ia ketahui” (QS. Al-’Alaq: 1 – 5)
Bila kita perhatikan, ternyata wahyu yang pertama turun bukanlah wahyu perintah untuk bersujud atau menyembah Allah, namun justru perintah untuk membaca. Membaca dan membaca, demikian sampai diulang 2 kali. Memang, “membaca” dalam arti luas tidaklah terbatas pada membaca huruf-huruf yang tertulis dalam sebuah kitab, tetapi bisa berarti membaca fenomena-fenomena yang ada dalam alam dan jagat raya ini. Namun demikian ayat ini memberi indikasi betapa Islam sangat mementingkan masalah kemampuan membaca huruf-huruf yang tertulis dengan pena dalam bentuk simbol-simbol tulisan. Coba kita perhati­kan makna QS. Al-’Alaq: 4-5 “Dialah (Allah) yang telah mengajar dengan (goresan) pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Dengan demikian Islam sungguh sudah mempunyai konsep yang jelas tentang anjuran untuk membaca dan menulis. Islam menyadari bahwa melalui membacalah diperoleh berbagai ilmu pengetahuan. Membaca adalah pintu gerbang segala ilmu. Demikian pula dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, kemampuan membaca anggota masyarakatnya tidak bisa diabaikan. Tidak ada, satu bangsapun di dunia ini, yang menganggap tidak pentingnya kemampuan membaca para warganya. Bahkan salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa, dilihat pula dari tinggi rendahnya kemampuan dan minat baca para warganya.
Hal yang demikian ini telah disadari sejak awal oleh Rosululloh SAW. Oleh karena itu, sejak awal perjuangan Nabi, salah satu misi yang menjadi sasarannya adalah memberantas buta huruf pengikutnya. Sejarah mencatat, bahwa di masa sebelum datangnya agama Islam, kuttab (tempat untuk memberi pelajaran baca tulis) telah ada juga di negara Arab, namun jumlahnya masih sangat terbatas. Karena terbatasnya itu sampai-sampai di waktu agama Islam datang, orang-orang Quraisy yang pandai menulis dan membaca tidak lebih dari 17 orang saja (Ahmad Salabi, 1973: 33).
Oleh Nabi, kemudian kemampuan membaca dan menulis ini diangkat kederajat yang tinggi. Orang-orang yang pandai membaca dan menulis, seperti Zaid bin Tsabit dan kawan-kawan oleh beliau diangkat menjadi sekretaris pribadi yang secara khusus ditugaskan untuk mencatat wahyu Allah yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an. Sebuah kedudukan yang sangat terhormat.
Dalam perang Badar, banyak penduduk Makkah yang menjadi tawanan perang muslimin. Diantara para tawanan itu, terdapat pula orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Oleh kaum muslimin, tawanan yang pandai tulis baca ini dijanjikan bisa dibebaskan dengan syarat menebus dirinya dan atau mengajarkan kemampuan baca tulisnya ini kepada kaum muslimin. Tiap seorang dari mereka harus bisa “memelekkan” sekurang-kurangnya 10 orang muslim dari kebutaan membaca dan menulis.
Demikianlah semenjak itu, tumbuh dan berkembanglah kuttab-kuttab, yang disamping sebagai tempat belajar baca tulis juga sebagai tempat belajar dasar-dasar agama di kalangan umat Islam. Rosulullohpun melalui sabda-sabdanya, terus menerus memberikan motivasi kepada umat Islam agar memperhatikan pengajaran membaca, khusus-nya pengajaran membaca Al-Qur’an.

Artinya: “Didiklah anak-anakmu dengan 3 perkara; Mencintai Nabi, mencintai keluarga Nabi dan membaca Al-Qur’an “(HR Ath-Thobroni).

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:

Artinya:  “Hak anak atas orangtuanya ada 3. Memilihkan nama yang baik ketika baru lahir, mengajarkan Kitabullah (Al-Qur’an) ketika mulai bisa berfikir dan menikahkan ketika telah dewasa” (HR. Ahmad).

Demikian pula para sahabat Nabi, tidak ada yang menganggap tidak pentingnya pengajaran baca dan tulis ini. Sahabat Umar misalnya (Abu Tauhid, 1990:3), telah menegaskan:

Artinya: “Termasuk hak anak yang menjadi kewajiban orang tuanya adalah mengajar-kan menulis, memanah dan tidak mem-berinya rizki kecuali yang halal dan baik”

Dari kata-kata Umar bin Khottob ini, dapat diambil pengertian bahwa pengajaran baca tulis adalah termasuk salah satu hak anak yang tidak boleh diabaikan oleh orang tuanya. Begitulah semenjak Rosululloh SAW kemudian para Khulafaurrosyidin dan generasi-generasi berikutnya, umat Islam terus menerus memandang penting kemampuan membaca dan menulis ini. Dapat diyakini telah menjadi kesepakatan umat akan pentingnya kemampuan membaca dan menulis ini dan tidak ada seorangpun yang berpendapat sebaliknya. Al Jahizh, seorang pujangga muslim yang terkenal itu, pernah berkata:

“Andaikata tulisan tidak ada, sungguh akan kacau balaulah sejarah bangsa-bangsa yang dahulu, dan terputuslah peninggalan-peninggalan orang-orang yang telah mati. Lisan hanya dipakai oleh orang yang berhadapan dengan kita…”(Ahmad Salabi, 1973: 34).
III. BATAS USIA AWAL DIMULAINYA PENGAJARAN MEMBACA

Di atas telah diuraikan mengenai perhatian Islam terhadap pengajaran membaca dan menulis pada umumnya, dan khususnya pengajaran membaca dan menulis huruf-huruf Al-Qur’an. Yang menjadi persoalan dalam makalah ini adalah, usia berapa anak mulai bisa diajarkan membaca? Apakah anak usia pra sekolah (TK) yang berusia antara 4,0 – 6,0 tahun sudah boleh diajarkan membaca?
Dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, sepanjang yang saya ketahui, nampaknya tidak ada satu keteranganpun yang secara shorih menerangkan mengenai usia berapa anak mulai bisa diajarkan membaca. Untuk itu, masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Barangkali satu-satunya hadits yang secara tersirat bisa dijadikan petunjuk adalah hadits tentang pendidikan sholat. Nabi SAW. bersabda:

Artinya: “Perintahlah anak-anakmu untuk menu-naikan sholat pada saat telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka bila mening-galkan sholat pada saat telah berusia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al-Hakim dan Abu Dawud).

Dalam hadits ini, secara tersurat Rosululloh memerintahkan agar orangtua mulai mengajarkan sholat kepada anak-anak mereka sejak usia 7 tahun. Dan karena dalam sholat terdapat bacaan-bacaan             Al-Qur’an, maka secara tersirat hendaknya orangtua telah mengajarkan membaca Al-Qur’an sebeium usia 7 tahun ini. Barangkali sekitar 1 – 2 tahun lebih awal dari usia 7 tahun.
Namun tentu saja, hadits ini kurang kuat untuk menetapkan bahwa usia 5,0 – 6,0 tahun sebagai awal pengajaran membaca Al-Qur’an. Sebab dalam sholat, lebih-lebih bagi para pemula, tidak mesti harus diawali oleh kemampuan membaca Al-Qur’an, karena bisa dilakukan cukup dengan hafalan saja.
Sedang para ulama salaf, umumnya hanya menegaskan pentingnya me­ngajarkan Al-Qur’an kepada anak sejak usia dini, tanpa menyebutkan apakah mengajarkan membaca dan menuliskannya atau sekedar menghafal Al-Qur’an saja.
Abdullah Nasikh Ulwan, dalam kitabnya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mencatat pendapat-pendapat mereka, yang bila kita terjemahkan sebagai berikut:
1.         Sa’ad bin Abi Waqqos berkata: “Kami mengajarkan sejarah perjuangan Rosul­ulloh kepada anak-anak sebagaimana kami juga mengajarkan kepada mereka surat-surat dari Al-Qur’an” (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 160).
2.         Imam.Ghozali dalam kitab “Ikhya’”-nya berpesan agar mengajarkan kepada anak tentang Al-Qur’an, hadits-hadits, kisah orang-orang bijak, kemudian beberapa hukum agama (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 160).
3.         Ibnu Kholdun dalam kitab “Muqoddimah”nya menunjuk kepada pentingnya mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak dan menghafalkannya. Dan beliau menjelaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an itu menjadi azas bagi seluruh kurikulum atau mata pelajaran (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 160)
4.         Ibnu Sina dalam kitab “As-Siyasah”nya telah memberi nasehat agar menga­jar anak dengan Al-Qur’an lebih dahulu. Segenap potensi anak, baik jasmani dan akalnya, hendaknya dicurahkan untuk menerima pelajaran Al-Qur’an ini. agar anak dapa&menyerap bahasa yang asli dan tertanam kuat dalam jiwanya indikasi-indikasi keimanan (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 161)

Bila kita perhatikan pendapat-pendapat ulama di atas, nampak bahwa mereka sepakat tentang pengajaran Al-Qur’an ini sejak usia dini (tanpa menyebut usia tertentu), bahkan Imam Ghozali dan Ibnu Sina menegaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an ini harus didahulukan sebeium pengajaran-pengajaran yang lain. Yang menjadi persoalan adalah, apakah dalam mengajarkan Al-Qur’an itu dengan tulis bacanya atau hanya dengan menghafalkan saja? Dalam teks-teks di atas tidak dijelaskan.
Namun demikian, ada pula berita-berita dari para ulama terdahulu yang menunjukkan kepada usia tertentu ‘untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak. Misalnya:
1.         Abu ‘Ashim berkata: “Aku pergi bersama anakku yang berusia 3 tahun kepada Ibnu Kuroij untuk belajar hadits dan Al-Qur’an”. Dan beliau (Abu ‘Ashim) lebih lanjut menegaskan: “Tidak ada halangan seorang anak mempelajari hadits dan Al-Qur’an pada saat usia sekitar itu (3 tahun)” (Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi,          1992: 12)
Pendapat Abu ‘Ashim ini menunjuk kepada usia 3 tahun untuk memulai belajar Al-Qur’an, namun sayang tidak menjelaskan apakah sekedar menghafal ataukah dengan membaca tulisannya.
2.         Ibrohim bin Said Al-Jauhari berkata:”Aku melihat seorang anak usia 4 tahun membaca (“qod qoro’a”) Al-Qur’an di hadapan Kholifah Al-Makmun” (Muham­mad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi, 1992: 12)
Persaksian Ibrohim bin Said Al-Jauhari ini menegaskan bahwa anak usia 4 tahun telah terampil membaca Al-Qur’an. Ini berarti, sebeium usia 4 tahun ia telah belajar membaca Al-Qur’an.
3.         Imam Syafi’i berkata: “Aku telah hafal Al-Qur’an saat usia 7 tahun, dan aku telah hafal Al-Muwattho’ saat usiaku 10 tahun (Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi, 1992: 111).
Pengakuan Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa usia 7 tahun telah hafal Al-Qur’an, ini berarti sebelum usia itu (barangkali usia 4,0 – 5,0 tahun) beliau telah memulai belajar menghafal Al-Qur’an. Namun tidak didapati penjelasan apakah beliau sekedar hafal ataukah juga bisa membaca tulisannya.
4.         Al-Fadhl bin Zaid melihat seorang anak dari keluarga Arab Badui yang sangat mengagumkan: la bertanya kepada Ibunya bagaimana cara mendidiknya. Sang ibu menjawab: “Sewaktu anak itu berumur 5 tahun, kuserahkan dia kepada seorang guru untuk belajar menghafal dan membaca Al-Qur’an …” Persaksian Al-Fadhl bin Zaid ini menunjukkan bahwa anak usia 5 tahun sudah diajarkan menghafal dan membaca Al-Qur’an.
Demikianlah beberapa riwayat para tokoh terdahulu, yang menunjukkan bahwa usia 3,0 – 5,0 tahun sudah diajarkan menghafal dan membaca Al-Qur’an. Dan sepanjang yang saya ketahui, tidak ada tokoh terdahulu yang menyatakan bahwa sebelum anak berusia 7,0 tahun belum saatnya untuk diajarkan membaca, baik membaca Al-Qur’an maupun membaca huruf-huruf lainnya.
Bagaimana mengenai pendapat tokoh-tokoh dewasa ini? Apakah anak usia pra sekolah (4.0 – 5,0 tahun) sudah boleh diberi pelajaran membaca, dan khususnya pelajaran membaca Al-Qur’an? Di Indonesia nampaknya ada 2 pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan “tidak boleh” karena akan terjadi pemaksaan yang bisa menimbulkan stres bagi anak. Anak usia TK. belum cukup matang untuk membaca. Usia TK. adalah usia bermain. Pendapat kedua menyatakan “boleh” asalkan menggunakan sistem metode yang tepat.
Pendapat pertama nampaknya diikuti oleh lembaga TK. di bawah Depdikbud, sehingga di sana tidak terdapat kurikulum atau bidang studi membaca. Bahkan pada zaman Prof. Fuad Hasan sebagai Menteri Pendidikan, ada surat edaran dari Depdikbud yang melarang TK. mengadakan acara wisuda dan melarang pula TK. Mengajarkan membaca kepada anak-anaknya. Sedangkan untuk pengajaran mem­baca Al-Qur’an baru diajarkan sewaktu anak telah duduk di SD.
Sedang pendapat kedua diikuti oleh Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA), suatu lembaga pendidikan Al-Qur’an untuk anak usia TK. yang dipelopori oleh anak-anak muda yang tergabung dalam Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla Yogyakarta (Team Tadarus “AMM”) yang sekarang telah diresmikan menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis Al-Qur’an LPTQ Nasional di Yogyakarta (Berdasarkan Keputusan LPTQ Nasional No. 1 tahun 1991). Dalam TKA, lembaga pendidikan yang kini tengah tumbuh subur di tanah air, anak usia TK. telah diajarkan membaca Al-Qur’an.
Pendapat kedua ini relevan dengan pendapat Glenn Doman, tokoh pengembangan kemampuan manusia yang telah menghabiskan waktunya selama be­berapa puluh tahun untuk penelitian anak-anak di lebih dari 100 negara di 5 benua kecuali Antartika. Di dalam bukunya “How to Teach Your Baby to Read”, dia menegaskan bahwa mengajarkan anak dalam hal membaca sudah dapat dimulai sejak tahun pertama kelahiran (Glen Doman, 1987:115). Lebih lanjut dia me­negaskan:
“Di atas usia 2 tahun, belajar membaca makin lama menjadi makin sukar. Jika anak anda berusia 5 tahun, akan lebih mudah baginya dibandingkan jika usia 6 tahun. Usia 4 tahun lebih mudah, dan 3 tahun bahkan lebih mudah lagi. Usia 1 tahun adalah waktu yang terbaik untuk mulai jika anda ingin mengeluarkan waktu dan energi yang paling sedikit untuk mengajar anak anda membaca”(Glen Doman, 1987: 115).

Nampaknya pendapat Glen Doman ini sekarang banyak diikuti oleh lembaga-lembaga TK. di berbagai negara. Di Singapura misalnya, sewaktu saya berkunjung ke TK. Islam Muhammdiyah Singapura pada bulan Agustus 1992, anak-anak usia 5,0-6,0 tahun telah juga diajar membaca dan trampil mempergunakan komputer. Demikian pula di Malaysia, di Tadika (istilah yang digunakah untuk TK.) juga telah diajarkan membaca huruf latin dan huruf Arab Jawi.
Lepas dari kedua pendapat di atas, yang jelas TK. Al-Qur’an yang kini tumbuh subur di Indonesia, telah membuktikan bahwa anak-anak usia TK., dalam waktu sekitar 6-8 bulan telah sanggup diantarkannya mampu membaca Al-Qur’an. Bahkan bagi anak yang cerdas dan didukung oleh lingkungan yang menguntungkan, dalam waktu 3-4 bulan, anak usia 5,0 tahun bisa lancar membaca Al-Qur’an. (Dokumentasi Badan Koordinasi TKA-TPA Propinsi DIY, 1993). Apa kunci rahasia keberhasilannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya sengaja datang melihat dari dekat bagaimana proses pengajaran membaca Al-Qur’an berlangsung di TK. Al-Qur’an “AMM” Kotagede Yogyakarta. Dipilihnya TK. Al-Qur’an “AMM” ini sebagai ajang observasi selama 2 minggu di bulan Juni 1996, adalah berdasarkan pertimbangan TKA “AMM” inilah yang dikenal sebagai penggerak utama bagi tumbuh berkembangnya TKA-TKA di tanah air.

IV. TK. AL-QUR’AN “AMM” KOTAGEDE YOGYAKARTA

TK. Al-Qur’an “AMM” ini terletak di kampung Selokraman Kotagede Yogyakarta, 7 km. ke arah tenggara dari pusat kota Yogyakarta. Lembaga ini didirikan pada tanggal 16 Maret 1998 oleh ustadz H. As’ad Humam bersama anak-anak muda yang tergabung dalam Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla (Team Tadarus “AMM”).
Dinamakan TK. Al-Qur’an karena memang fokus kegiatannya adalah mengajarkan membaca Al-Qur’an untuk anak-anak usia TK. (4,0 – 6,0). Target pokoknya adalah mengantarkan para anak didiknya agar mampu membaca Al-Qur’an, sebuah kemampuan yang akan menjadi dasar bagi terwujudnya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
TK. Al-Qur’an “AMM” ini diselenggarakan sore hari, dengan pertimbangan agar para anak didiknya bisa mengikuri TK. “biasa” di pagi hari. Anak masuk 6 kali dalam seminggu, tiap kali masuk berlangsung 60 menit, antara jam 14.00 -15.00, atau 15.00 – 16.00, atau 16.00 – 17,00 sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok terdapat sekitar 30 anak dengan 5 orang guru. Jadi perbandingan guru dengan murid adalah 1:6. Gurunya kebanyakan putri, berusia antara 20-30 tahun dan mayoritas berstatus sebagai mahasiswa.
Mata pelajarannya dibedakan menjadi 2, yaitu materi pokok dan materi penunjang. Yang menjadi materi pokok adalah pengajaran membaca Al-Qur’an dengan menggunakan buku “Iqro”‘ sedang materi penunjangnya berupa hafalan bacaan sholat, 12 do’a sehari-hari, 12 surat-surat pendek, 6 kelompok ayat pilihan, menulis huruf Al-Qur’an, BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) dan praktek ibadah (As’ad Humam dkk., 1995: 11-14)
Waktu yang 60 menit tiap kali masuk itu, dipergunakan untuk:
1.     05 menit  : Pembukaan (persiapan, salam, do’a dan absensi)
2.     10 menit : Klasikal I (untuk materi hafalan)
3.     30 menit : Privat (untuk belajar Iqro’)
4.     10 menit : Klasikal II (untuk BCM)
5.     05 menit : Penutup (untuk berdo’a, baca ikrar dan salam)
Dari pembagian waktu di atas dapat diketahui bahwa untuk pengajaran membaca Al-Qur’an (belajar “Iqro”‘) dilakukan secara privat (individual), artinya tiap anak dihadapi oleh satu guru. Masing-masing anak mendapat jatah waktu antara 5 sampai 8 menit, dengan cara bergantian. Dengan demikian, waktu untuk belajar membaca tidak lebih dari 10 menit tiap kali pertemuan. Waktu 10 menit adalah merupakan waktu maksimal daya konsentrasi anak usia TK. Bagi anak yang akan atau telah belajar membaca, sambil menunggu temannya selesai diajar membaca, diberi kegiatan yang rekreatif seperti menulis, menggambar, memberi warna, menata huruf dalam puzzel dan sebagainya.
Dengan pola kegiatan seperti di atas ini, ternyata TK. Al-Qur’an “AMM” telah berhasil mengantarkan anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Karena keberhasilannya inilah barangkali yang mendorong daerah lain ikut mengembangkannya. Sehingga pada akhir tahun 1995 yang lalu tercatat tidak kurang dari 30.000 unit TKA/TPA dengan 6 juta santri yang tersebar di seluruh pelosok tanah air (Suara Hidayatullah No. 11/VIII/Sy-awal 1416 H/Maret 1996).
Sebagai bukti monumental terhadap pengakuan umat Islam dan pemerintah kepada keberhasilan TK. Al-Qur’an dalam mengantarkan para anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an, adalah peristiwa “Wisuda Santri TKA-TPA Nasional I” yang berlangsung di Auditorium Graha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, pada hari Rabu, 28 Juni 1995. Pada acara itu, telah diwisuda 700 santri cilik usia 5,0 – 7,5 tahun yang datang mewakili teman-temannya dari seluruh propinsi di Indonesia, termasuk Timor Timur dan Irian Jaya, sebagai tanda telah mahirnya mereka membaca Al-Qur’an. Berkenan hadir dan mewisuda saat itu, 5 orang Menteri sekaligus, yaitu Menko Kesra Ir. Azwar Anas, Menteri Agama dr. Tarmizi Taher, Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN Dr. Haryono Soeyono, Menteri Koperasi dan Industri Kecil Soebijakto Tjakrawerdaja dan Menteri Pertanian Dr. Syarifuddin Baharsyah. Disamping itu juga hadir Gubernur DIY, Gubernur Ka­limantan Timur, beberapa orang anggota DPR RI, utusan negara-negara sahabat, dan juga 30 mahasiswa Institut Teknologi Mara Malaysia sebagai pengamat (Harian Umum “Yogya Post”, 29 Juni 1995).
Sehari kemudian, tepatnya tanggal 29 Juni 1995, bersamaan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) II, di lapangan parkir Monumen Yogyakarta Kembali, Presiden Soeharto berkenan pula mewisuda secara simbolis 2 orang santri TK. Al-Qur’an yang mewakili teman-temannya di seluruh tanah air, sebagai tanda telah mahirnya mereka membaca Al-Qur’an. Bapak Presiden menyatakan kegembiraannya yang luar biasa, seraya berkata: “Upaya ini saya minta diteruskan, agar bangsa kita yang memiliki Pancasila sebagai dasar falsafah negara benar-benar mendalam rasa keagamaannya” (Harian Umum “Republika”, 30 Juni 1995).
Demikianlah beberapa bukfi keberhasilan TK. Al-Qur’an, sehingga saat ini tidak lagi merupakan hal yang luar biasa bila kita menyaksikan anak-anak usia di bawah 7 tahun telah mahir membaca Al-Qur’an. Apa rahasianya? Setelah saya melihat dari dekat proses pembelajaran baca Al-Qur’annya di TK. A “AMM”, dapatlah disimpulkan bahwa kunci keberhasilannya terletak pada:
1. Buku “Iqro”‘ Yang Digunakan
Dalam proses pengajaran membaca Al-Qur’an, buku pegangan yang digunakan adalah buku “Iqro”‘. Buku yang disusun oleh KH. As’ad Humam ini, dicetak dalam 6 jilid buku kecil. Tiap jilid rata-rata memiliki 34 halaman, dengan sampul yang warna-warni. Jilid-jilid tersebut disusun berdasarkan urutan dan tertib materi yang harus dilalui secara bertahap oleh masing masing anak. Jilid 1 berisi pengenalan huruf-huruf tunggal dengan harokat fathah, Jilid 2 huruf-huruf bersambung, demikian seterusnya sampai jilid 6 yang sudah semakin komplek. Bagi anak yang telah menyelesaikan jilid 6 bila mengajarkannya sesuai dengan petunjuk, dipastikan ia telah mampu membaca Al-Qur’an pada halaman mana saja.
Cara mengajarkan buku “Iqro”‘ berbeda dengan buku “Al-Qowaidul Baghdadiyah”. Anak harus mengenal nama-nama huruf lebih dahulu, dan kemudian mengejanya (alilf fathah A, alif kasroh 1, alilf dlomah U, A-I-U) dan seterusnya. Sedang dalam buku “Iqro”‘ yang dipentingkan adalah anak bisa baca walaupun tidak mengenal nama hurufnya (langsung bunyi bacaannya) dan tidak meng­ejanya. Bahkan selama anak masih belajar Iqro’ belum dikenalkan dengan istilah-istilah ilmu tajwid, tetapi yang dipentingkan adalah anak bisa membaca  Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid. Yang dipentingkan praktek bacanya bukan teori bacaannya. (lihat lembar “Kunci Sukses Pengajaran Buku Iqro’” sebagaimana yang terlampir dalam makalah ini).
Ditinjau dari segi psikologi belajar, nampak sekali bahwa tahapan dan cara yang demikian akan lebih mudah bagi anak dibanding dengan tahapan dan cara yang ada dalam buku “Al-Qowaidul Baghdadiyah”. Ini karena berfikirnya yang lebih sederhana, lebih singkat, praktis dan menghindari verbalisme.
2. Sistem Privat
Pada TK. Al-Qur’an “AMM”, pertama kali anak dikelompokkan dalam kelas-kelas sesuai dengan tingkatan umurnya masing-masing, kemudian diajar de­ngan sistem campuran antara klasikal dan privat (individual). Klasikal untuk mengajar-kan materi-materi penunjang (hafalan, dan sebagainya), sedang individualnya diperuntukkan mengajarkan materi Iqro’” (materi pokok/materi pengajaran membaca Al-Qur’an). Masing-masing anak diajar membaca “Iqro”‘ antara 5-8 menit saja secara bergantian. Karena individual, maka akan terjadi kemampuan “Iqro”‘ nya masing-masing anak dalam satu kelas tidak sama. Anak yang cerdas dan rajin akan cepat menyelesaikan buku “Iqro”‘, dan anak yang kurang cerdas dan kurang rajin akan relatif lebih lambat. Dengan demikian, maka tidak akan terjadi “pemaksaan” terhadap kemampuan anak. Jadi anak yang cerdas diikuti irama kecerdasannya dan anak yang bodoh diikuti pula irama kebodohannya.
Disinilah nampaknya keistimewaan sistem TK. Al-Qur’an dengan “Iqro”‘ nya dibandingkan dengan sistem dan metode yang lainnya. sehingga TK. Al-Qur’an memungkinkan untuk diikuti anak usia pra sekolah sekalipun, tanpa menimbulkan gangguan kejiwaan (pemaksaan/stress).

3. Pendekatan Guru
Team Tadarus “AMM” sebagai penyelenggara TK. Al-Qur’an “AMM” ini cukup jeli dalam memilih calon-calon guru. Guru diutamakan yang berwajah keibuan atau kebapakan, baru kemudian syarat-syarat yang lainnya. Wajah keibuan atau kebapakan adalah merupakan modal dasar bagi kedekatan anak dengan guru. Disamping itu, jumlah guru senantiasa diusahakan cukup (perbandingan guru: murid adalah 1:6), dengan harapan agar masing-masing anak bisa mendapat perhatian yang cukup dari guru.
Berikut ini adalah beberapa sikap yang menunjukkan kedekatan dan cara pendekatan guru terhadap anak yang terekam dalam observasi saya:
a.         Suasana akrab
Suasana akrab antara guru dengan anak ini nampak dalam sikap dan pergaulan sehari-hari, tidak terbatas di ruangan kelas saja. Guru senantiasa memberi salam lebih dahulu kepada anak, berjabat tangan, menyentuh-nya dengan lembut, menyapanya dengan tersenyum dan menyebut anak de­ngan mesra.
b.         Tidak terpaksa dan tidak memaksa
Semua pihak nampaknya menyadari bahwa yang dilihat anak bukanlah ilmu dan kecerdasan guru tetapi wajah dan ketulusan hatinya. Untuk itu, guru tidak akan mengajar pada saat sangat lelah, tidak tenang dan banyak persoalan. Demikian pula pada saat ada anak yang kelihatan lelah, mengantuk dan “mogok” (tidak mau membaca), maka gurupun tidak akan memaksanya, dan menunda dulu sampai anak timbul minatnya kembali. Diantara guru nampaknya terdapat guru yang punya ketrampilan mendekati anak-anak yang mogok atau yang bermasalah lainnya.
c.          Mendahulukan kata “ya” daripada “jangan”
Dalam pengajaran membaca, demikian pula dalam pengajaran yang lainnya, bila anak betul dan tepat dalam melakukannya guru tidak segan-segan untuk memujinya dengan kata-kata: ya, bagus, cantik, terus dan sebagainya. Sedangkan bila anak keliru atau salah dalam melakukannya, guru tidak akan mencela, mengejek atau melarangnya dengan kata-kata: “jangan begitu”, tetapi dengan kata-kata “sebaiknya begini”.

4. Suasana Sebagai Taman
Proses belajar mengajar, apapun bentuk dan materi pengajarannya, akan ditunjang pula oleh suasana lingkungan yang ada. Di TK. Al-Qur’an “AMM” ini, suasana lingkungan sebagai sebuah “taman” benar-benar mendapat perhatian. Ruangan yang ditata apik, gedung yang representatif, kebersihan yang terjaga, halaman bermain yang cukup, ada masjid dengan perpustakaannya, penampilan guru-gurunya yang memadai, semuanya itu membuat anak-anak betah dan tidak jemu.
5. Suasana Bermain
Dunia anak adalah dunia bermain. Hal ini nampak disadari oleh para pengelola dan semua pihak yang terlibat, Untuk itu, dalam proses pengajaran membacanyapun tidak lepas pula dari dunia bermain. Misalnya untuk mengenalkan nama-nama huruf, diciptakanlah syair nyanyian yang lagunya meminjam lagu-lagu yang populer di dunia anak-anak. Bentuk-bentuk hurufpun tidak luput dari kiat-kiat tertentu sehingga menarik buat anak-anak, seperti huruf “shod” dibuat mirip dengan gambar angsa dan sebagainya.
Di TK. Al-Qur’an dikenal istilah BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) atau APEI (Alat Permainan Edukatif yang Islami) seperti tepuk Islam, lari syahadat, tepuk malaikat, ular tangga muslim, menata huruf dan sebagainya. Permainan-permainan itu diciptakan sedemikian rupa agar menunjang atau mempercepat kemampuan anak dalam membaca. Jadi ada suasana belajar sambil bermain.

Demikianlah beberapa kunci keberhasilan TK. Al-Qur’an dalam pengajaran membaca (Al-Qur’an) bagi anak-anak usia pra sekolah yang tertangkap dalam kunjungan (observasi) yang selintas ini. Saya menyadari bahwa di sana masih terpendam kunci-kunci yang lain yang belum bisa terungkap. Untuk itu semoga tulisan ini mendorong para ahli untuk megadakan penelitian lebih lanjut.

V.          PENUTUP

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa bila menggunakan sistem dan metode yang tepat serta ditunjang oleh pendekatan guru yang tepat pula, maka anak usia pra sekolah akan mampu menerima pengajaran membaca (Al-Qur’an) tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun. Untuk itu, persoalannya bukanlah usia berapa anak mulai bisa diajar membaca, tetapi persoalannya adalah tergantung pada sistem dan metode yang digunakan. Jangankan anak usia pra sekolah (4,0 -6,0.tahun) anak usia SD (7,0 -10,0 tahun) sekalipun tentu akan stres bila diajar membaca (Al-Qur’an) dengan menggunakan sistem dan metode yang tidak tepat.
Jadi, bila dulu ada ahli yang melarang mengajarkan membaca (Al-Qur’an) untuk anak usia TK., tiada lain adalah pada saat itu belum ditemukan sistem dan metode yang tepat untuk itu. Demikian pula kalau sekarang ada sementara ahli yang mengkawatirkan terjadinya “pemaksaan” pada anak-anak yang belajar di TK. Al-Qur’an, hal itu tiada lain disebabkan mereka belum melihat dari dekat bagaimana proses pengajarannya berlangsung.
Memang benar kita tidak boleh memaksa anak TK. untuk belajar membaca (Al-Qur’an); namun juga kita tidak boleh memaksa anak TK. untuk tidak belajar membaca (Al-Qur’an). Karena:
Anak kecil ingin belajar membaca
Anak kecil dapat belajar membaca.
Anak kecil sedang belajar membaca
Anak kecil perlu belajar membaca
(Glen Doman, 1987: 26)

Memang benar apa salahnya kita memulai mengajarkan membaca (Al-Qur’an) setelah anak memasuki usia pasca TK.: namun juga apa salahnya kita memulai mengajarkan membaca (Al-Qur’an) semenjak anak dalam usia pra sekolah kalau  ternyata hal itu bisa kita lakukan! Untuk apa menunda-nunda?
Yang penting buat kita adalah menyediakan sistem dan metode yang tepat untuk usia mereka !

Yogyakarta, Syawal; 1417 H

Penyusun,
(Drs. H.M. Budiyanto)


DAFTAR PUSTAKA


“Abdur Rahman An-Nahlawi,
1979.     Ushulut Tarbiyatul Islamiyah wa Asalibuha. Damsyik : Darul Fikri

Abdullah Nasikh Ulwan,
1985.     Tarbiyatul Aulad fil Islam. Beirut: Darus Salam

Abu Tauhied, H,
1990.     Beberapa Aspek Pendidikan Islam. Yogyakarta: Sekretariat ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.

Ahmad Salabi,
1973.     Sejarah Pendidikan Islam Penerjemah: Muhtar Yahya. Jakarta. Bulan Bintang

Anwar Jundi,
1975.     At-tarbiyah wa Bina’Ul Ajyal fi Dlouil Islam. Beirut. Darul Kitab

As’ad Humam, dkk ,
1995.     Pedoman Pengelolaan, Pembinaan Dan Pengembangan M3A. Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional.

Athiyah Al-Abrosyi,
1964.     At-Tarbiyatul Islamiyah. Kairo: Darul Qoumiyah.



Badko TKA-TPA Propinsi DIY.,
1993.     Haflah Khotmil Qur’an Yogyakarta: bagian Dokumentasi Badko TKA-TPA Propinsi DIY

Glen Doman,
1987.     Mengajar Bayi Anda Membaca Penerjemah: Ismail Marahimin. Jakarta: PT Gaya Favorit Press.

Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi,
1992.     Manhajut Tarbiyatil Nabawiyah lith Thifli. Kuwait: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah

Selasa, 03 April 2012

TAARUF

Assalamu'alaykum, Wr.Wb.

Ini adalah nama blog resmi lembaga pendidikan usia dini TPQ Al Adzkiyaa berada di perumahan griya cendekia Curug Gunung Sindur Kabupaten Bogor.
InsyaAllah TPQ Al Adzkiyaa sedang dalam proses pembenahan manajemen, TPQ Al Adzkiyaa menerima donasi  CINTA ALQUR'AN berupa:  buku Iqro, Al Quran, meja kursi, komputer, karpet, white board dll.Juga membuka lowongan pengasuh atau pengajar  ustadz / ustadzah. Jazakumullah Khoiron atas perhatian do'a dan dukungannya.
Semoga Allah Swt. memudahkan upaya kita untuk membentuk generasi Rabbani yang mencintai Alqur'an berakhlak Mulia dan memiliki aqidah yang mantap.

Wassalamu'alaykum Wr,Wb.

Curug, 13 Jumadil Ula 1433 H / 5 April 2012
 Pengelola Blog

Abdul Ghofar
081383217099