Rabu, 04 April 2012

Membaca Alquran sejak Dini ( diposkan kembali )


I.            PENDAHULUAN

Ada sementara orang yang menyatakan bahwa pengajaran membaca, termasuk didalamnya pengajaran membaca Al-Qur’an, belum waktunya untuk diberi­kan kepada anak-anak usia TK. (pra sekolah). Di usia TK., cukuplah diberikan materi-materi hafalan saja. Pengajaran membacanya, diberikan di usia SD. Usia TK. adalah usia bermain.
Pernyataan ini menggelitik hati saya, benarkah anak usia TK. (4.0 – 6.0 tahun) belum saatnya diajar membaca? Atau lebih khusus lagi, benarkah anak usia TK. (pra sekolah) belum saatnya diajar membaca Al-Qur’an? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan ini. Dalam makalah ini, saya akan mencoba menelusuri pendapat-pendapat para ahli melalui tulisan-tulisan yang ada, kemudian mencoba melihat dari dekat TK. Al-Qur’an “AMM” Kotagede Yogyakarta yang merupakan lembaga pendidikan yang dinilai telah berhasil dalam mengajarkan membaca Al-Qur’an untuk anak usia pra sekolah.
Makalah ini tidak dimaksudkan untuk mengung-kap tingkat keberhasilan TK. Al-Qur’an “AMM” tersebut, karena memang telah diakui oleh masyarakat, tetapi yang diungkap adalah metodologi pengajaran membaca Al-Qur’an yang diterapkan di sana, mengapa bisa berhasil?

II.       PENGAJARAN MEMBACA

Telah kita maklumi bersama, bahwa tatkala Nabi Muhammad SAW berkholwat di gua Hiro’, tiba-tiba malaikat Jibril datang membawa wahyu yang pertama berupa QS. Al-’Alaq: 1-5. Ayat itu selengkapnya berbunyi:

Artinya:  “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan. Dia telah mencip-takan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Yang mengajar manusia (tentang) apa yang tidak ia ketahui” (QS. Al-’Alaq: 1 – 5)
Bila kita perhatikan, ternyata wahyu yang pertama turun bukanlah wahyu perintah untuk bersujud atau menyembah Allah, namun justru perintah untuk membaca. Membaca dan membaca, demikian sampai diulang 2 kali. Memang, “membaca” dalam arti luas tidaklah terbatas pada membaca huruf-huruf yang tertulis dalam sebuah kitab, tetapi bisa berarti membaca fenomena-fenomena yang ada dalam alam dan jagat raya ini. Namun demikian ayat ini memberi indikasi betapa Islam sangat mementingkan masalah kemampuan membaca huruf-huruf yang tertulis dengan pena dalam bentuk simbol-simbol tulisan. Coba kita perhati­kan makna QS. Al-’Alaq: 4-5 “Dialah (Allah) yang telah mengajar dengan (goresan) pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Dengan demikian Islam sungguh sudah mempunyai konsep yang jelas tentang anjuran untuk membaca dan menulis. Islam menyadari bahwa melalui membacalah diperoleh berbagai ilmu pengetahuan. Membaca adalah pintu gerbang segala ilmu. Demikian pula dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, kemampuan membaca anggota masyarakatnya tidak bisa diabaikan. Tidak ada, satu bangsapun di dunia ini, yang menganggap tidak pentingnya kemampuan membaca para warganya. Bahkan salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa, dilihat pula dari tinggi rendahnya kemampuan dan minat baca para warganya.
Hal yang demikian ini telah disadari sejak awal oleh Rosululloh SAW. Oleh karena itu, sejak awal perjuangan Nabi, salah satu misi yang menjadi sasarannya adalah memberantas buta huruf pengikutnya. Sejarah mencatat, bahwa di masa sebelum datangnya agama Islam, kuttab (tempat untuk memberi pelajaran baca tulis) telah ada juga di negara Arab, namun jumlahnya masih sangat terbatas. Karena terbatasnya itu sampai-sampai di waktu agama Islam datang, orang-orang Quraisy yang pandai menulis dan membaca tidak lebih dari 17 orang saja (Ahmad Salabi, 1973: 33).
Oleh Nabi, kemudian kemampuan membaca dan menulis ini diangkat kederajat yang tinggi. Orang-orang yang pandai membaca dan menulis, seperti Zaid bin Tsabit dan kawan-kawan oleh beliau diangkat menjadi sekretaris pribadi yang secara khusus ditugaskan untuk mencatat wahyu Allah yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an. Sebuah kedudukan yang sangat terhormat.
Dalam perang Badar, banyak penduduk Makkah yang menjadi tawanan perang muslimin. Diantara para tawanan itu, terdapat pula orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Oleh kaum muslimin, tawanan yang pandai tulis baca ini dijanjikan bisa dibebaskan dengan syarat menebus dirinya dan atau mengajarkan kemampuan baca tulisnya ini kepada kaum muslimin. Tiap seorang dari mereka harus bisa “memelekkan” sekurang-kurangnya 10 orang muslim dari kebutaan membaca dan menulis.
Demikianlah semenjak itu, tumbuh dan berkembanglah kuttab-kuttab, yang disamping sebagai tempat belajar baca tulis juga sebagai tempat belajar dasar-dasar agama di kalangan umat Islam. Rosulullohpun melalui sabda-sabdanya, terus menerus memberikan motivasi kepada umat Islam agar memperhatikan pengajaran membaca, khusus-nya pengajaran membaca Al-Qur’an.

Artinya: “Didiklah anak-anakmu dengan 3 perkara; Mencintai Nabi, mencintai keluarga Nabi dan membaca Al-Qur’an “(HR Ath-Thobroni).

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:

Artinya:  “Hak anak atas orangtuanya ada 3. Memilihkan nama yang baik ketika baru lahir, mengajarkan Kitabullah (Al-Qur’an) ketika mulai bisa berfikir dan menikahkan ketika telah dewasa” (HR. Ahmad).

Demikian pula para sahabat Nabi, tidak ada yang menganggap tidak pentingnya pengajaran baca dan tulis ini. Sahabat Umar misalnya (Abu Tauhid, 1990:3), telah menegaskan:

Artinya: “Termasuk hak anak yang menjadi kewajiban orang tuanya adalah mengajar-kan menulis, memanah dan tidak mem-berinya rizki kecuali yang halal dan baik”

Dari kata-kata Umar bin Khottob ini, dapat diambil pengertian bahwa pengajaran baca tulis adalah termasuk salah satu hak anak yang tidak boleh diabaikan oleh orang tuanya. Begitulah semenjak Rosululloh SAW kemudian para Khulafaurrosyidin dan generasi-generasi berikutnya, umat Islam terus menerus memandang penting kemampuan membaca dan menulis ini. Dapat diyakini telah menjadi kesepakatan umat akan pentingnya kemampuan membaca dan menulis ini dan tidak ada seorangpun yang berpendapat sebaliknya. Al Jahizh, seorang pujangga muslim yang terkenal itu, pernah berkata:

“Andaikata tulisan tidak ada, sungguh akan kacau balaulah sejarah bangsa-bangsa yang dahulu, dan terputuslah peninggalan-peninggalan orang-orang yang telah mati. Lisan hanya dipakai oleh orang yang berhadapan dengan kita…”(Ahmad Salabi, 1973: 34).
III. BATAS USIA AWAL DIMULAINYA PENGAJARAN MEMBACA

Di atas telah diuraikan mengenai perhatian Islam terhadap pengajaran membaca dan menulis pada umumnya, dan khususnya pengajaran membaca dan menulis huruf-huruf Al-Qur’an. Yang menjadi persoalan dalam makalah ini adalah, usia berapa anak mulai bisa diajarkan membaca? Apakah anak usia pra sekolah (TK) yang berusia antara 4,0 – 6,0 tahun sudah boleh diajarkan membaca?
Dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, sepanjang yang saya ketahui, nampaknya tidak ada satu keteranganpun yang secara shorih menerangkan mengenai usia berapa anak mulai bisa diajarkan membaca. Untuk itu, masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Barangkali satu-satunya hadits yang secara tersirat bisa dijadikan petunjuk adalah hadits tentang pendidikan sholat. Nabi SAW. bersabda:

Artinya: “Perintahlah anak-anakmu untuk menu-naikan sholat pada saat telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka bila mening-galkan sholat pada saat telah berusia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al-Hakim dan Abu Dawud).

Dalam hadits ini, secara tersurat Rosululloh memerintahkan agar orangtua mulai mengajarkan sholat kepada anak-anak mereka sejak usia 7 tahun. Dan karena dalam sholat terdapat bacaan-bacaan             Al-Qur’an, maka secara tersirat hendaknya orangtua telah mengajarkan membaca Al-Qur’an sebeium usia 7 tahun ini. Barangkali sekitar 1 – 2 tahun lebih awal dari usia 7 tahun.
Namun tentu saja, hadits ini kurang kuat untuk menetapkan bahwa usia 5,0 – 6,0 tahun sebagai awal pengajaran membaca Al-Qur’an. Sebab dalam sholat, lebih-lebih bagi para pemula, tidak mesti harus diawali oleh kemampuan membaca Al-Qur’an, karena bisa dilakukan cukup dengan hafalan saja.
Sedang para ulama salaf, umumnya hanya menegaskan pentingnya me­ngajarkan Al-Qur’an kepada anak sejak usia dini, tanpa menyebutkan apakah mengajarkan membaca dan menuliskannya atau sekedar menghafal Al-Qur’an saja.
Abdullah Nasikh Ulwan, dalam kitabnya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mencatat pendapat-pendapat mereka, yang bila kita terjemahkan sebagai berikut:
1.         Sa’ad bin Abi Waqqos berkata: “Kami mengajarkan sejarah perjuangan Rosul­ulloh kepada anak-anak sebagaimana kami juga mengajarkan kepada mereka surat-surat dari Al-Qur’an” (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 160).
2.         Imam.Ghozali dalam kitab “Ikhya’”-nya berpesan agar mengajarkan kepada anak tentang Al-Qur’an, hadits-hadits, kisah orang-orang bijak, kemudian beberapa hukum agama (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 160).
3.         Ibnu Kholdun dalam kitab “Muqoddimah”nya menunjuk kepada pentingnya mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak dan menghafalkannya. Dan beliau menjelaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an itu menjadi azas bagi seluruh kurikulum atau mata pelajaran (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 160)
4.         Ibnu Sina dalam kitab “As-Siyasah”nya telah memberi nasehat agar menga­jar anak dengan Al-Qur’an lebih dahulu. Segenap potensi anak, baik jasmani dan akalnya, hendaknya dicurahkan untuk menerima pelajaran Al-Qur’an ini. agar anak dapa&menyerap bahasa yang asli dan tertanam kuat dalam jiwanya indikasi-indikasi keimanan (Abdullah Nasikh Ulwan, 1995: 161)

Bila kita perhatikan pendapat-pendapat ulama di atas, nampak bahwa mereka sepakat tentang pengajaran Al-Qur’an ini sejak usia dini (tanpa menyebut usia tertentu), bahkan Imam Ghozali dan Ibnu Sina menegaskan bahwa pengajaran Al-Qur’an ini harus didahulukan sebeium pengajaran-pengajaran yang lain. Yang menjadi persoalan adalah, apakah dalam mengajarkan Al-Qur’an itu dengan tulis bacanya atau hanya dengan menghafalkan saja? Dalam teks-teks di atas tidak dijelaskan.
Namun demikian, ada pula berita-berita dari para ulama terdahulu yang menunjukkan kepada usia tertentu ‘untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak. Misalnya:
1.         Abu ‘Ashim berkata: “Aku pergi bersama anakku yang berusia 3 tahun kepada Ibnu Kuroij untuk belajar hadits dan Al-Qur’an”. Dan beliau (Abu ‘Ashim) lebih lanjut menegaskan: “Tidak ada halangan seorang anak mempelajari hadits dan Al-Qur’an pada saat usia sekitar itu (3 tahun)” (Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi,          1992: 12)
Pendapat Abu ‘Ashim ini menunjuk kepada usia 3 tahun untuk memulai belajar Al-Qur’an, namun sayang tidak menjelaskan apakah sekedar menghafal ataukah dengan membaca tulisannya.
2.         Ibrohim bin Said Al-Jauhari berkata:”Aku melihat seorang anak usia 4 tahun membaca (“qod qoro’a”) Al-Qur’an di hadapan Kholifah Al-Makmun” (Muham­mad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi, 1992: 12)
Persaksian Ibrohim bin Said Al-Jauhari ini menegaskan bahwa anak usia 4 tahun telah terampil membaca Al-Qur’an. Ini berarti, sebeium usia 4 tahun ia telah belajar membaca Al-Qur’an.
3.         Imam Syafi’i berkata: “Aku telah hafal Al-Qur’an saat usia 7 tahun, dan aku telah hafal Al-Muwattho’ saat usiaku 10 tahun (Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi, 1992: 111).
Pengakuan Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa usia 7 tahun telah hafal Al-Qur’an, ini berarti sebelum usia itu (barangkali usia 4,0 – 5,0 tahun) beliau telah memulai belajar menghafal Al-Qur’an. Namun tidak didapati penjelasan apakah beliau sekedar hafal ataukah juga bisa membaca tulisannya.
4.         Al-Fadhl bin Zaid melihat seorang anak dari keluarga Arab Badui yang sangat mengagumkan: la bertanya kepada Ibunya bagaimana cara mendidiknya. Sang ibu menjawab: “Sewaktu anak itu berumur 5 tahun, kuserahkan dia kepada seorang guru untuk belajar menghafal dan membaca Al-Qur’an …” Persaksian Al-Fadhl bin Zaid ini menunjukkan bahwa anak usia 5 tahun sudah diajarkan menghafal dan membaca Al-Qur’an.
Demikianlah beberapa riwayat para tokoh terdahulu, yang menunjukkan bahwa usia 3,0 – 5,0 tahun sudah diajarkan menghafal dan membaca Al-Qur’an. Dan sepanjang yang saya ketahui, tidak ada tokoh terdahulu yang menyatakan bahwa sebelum anak berusia 7,0 tahun belum saatnya untuk diajarkan membaca, baik membaca Al-Qur’an maupun membaca huruf-huruf lainnya.
Bagaimana mengenai pendapat tokoh-tokoh dewasa ini? Apakah anak usia pra sekolah (4.0 – 5,0 tahun) sudah boleh diberi pelajaran membaca, dan khususnya pelajaran membaca Al-Qur’an? Di Indonesia nampaknya ada 2 pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan “tidak boleh” karena akan terjadi pemaksaan yang bisa menimbulkan stres bagi anak. Anak usia TK. belum cukup matang untuk membaca. Usia TK. adalah usia bermain. Pendapat kedua menyatakan “boleh” asalkan menggunakan sistem metode yang tepat.
Pendapat pertama nampaknya diikuti oleh lembaga TK. di bawah Depdikbud, sehingga di sana tidak terdapat kurikulum atau bidang studi membaca. Bahkan pada zaman Prof. Fuad Hasan sebagai Menteri Pendidikan, ada surat edaran dari Depdikbud yang melarang TK. mengadakan acara wisuda dan melarang pula TK. Mengajarkan membaca kepada anak-anaknya. Sedangkan untuk pengajaran mem­baca Al-Qur’an baru diajarkan sewaktu anak telah duduk di SD.
Sedang pendapat kedua diikuti oleh Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKA), suatu lembaga pendidikan Al-Qur’an untuk anak usia TK. yang dipelopori oleh anak-anak muda yang tergabung dalam Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla Yogyakarta (Team Tadarus “AMM”) yang sekarang telah diresmikan menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis Al-Qur’an LPTQ Nasional di Yogyakarta (Berdasarkan Keputusan LPTQ Nasional No. 1 tahun 1991). Dalam TKA, lembaga pendidikan yang kini tengah tumbuh subur di tanah air, anak usia TK. telah diajarkan membaca Al-Qur’an.
Pendapat kedua ini relevan dengan pendapat Glenn Doman, tokoh pengembangan kemampuan manusia yang telah menghabiskan waktunya selama be­berapa puluh tahun untuk penelitian anak-anak di lebih dari 100 negara di 5 benua kecuali Antartika. Di dalam bukunya “How to Teach Your Baby to Read”, dia menegaskan bahwa mengajarkan anak dalam hal membaca sudah dapat dimulai sejak tahun pertama kelahiran (Glen Doman, 1987:115). Lebih lanjut dia me­negaskan:
“Di atas usia 2 tahun, belajar membaca makin lama menjadi makin sukar. Jika anak anda berusia 5 tahun, akan lebih mudah baginya dibandingkan jika usia 6 tahun. Usia 4 tahun lebih mudah, dan 3 tahun bahkan lebih mudah lagi. Usia 1 tahun adalah waktu yang terbaik untuk mulai jika anda ingin mengeluarkan waktu dan energi yang paling sedikit untuk mengajar anak anda membaca”(Glen Doman, 1987: 115).

Nampaknya pendapat Glen Doman ini sekarang banyak diikuti oleh lembaga-lembaga TK. di berbagai negara. Di Singapura misalnya, sewaktu saya berkunjung ke TK. Islam Muhammdiyah Singapura pada bulan Agustus 1992, anak-anak usia 5,0-6,0 tahun telah juga diajar membaca dan trampil mempergunakan komputer. Demikian pula di Malaysia, di Tadika (istilah yang digunakah untuk TK.) juga telah diajarkan membaca huruf latin dan huruf Arab Jawi.
Lepas dari kedua pendapat di atas, yang jelas TK. Al-Qur’an yang kini tumbuh subur di Indonesia, telah membuktikan bahwa anak-anak usia TK., dalam waktu sekitar 6-8 bulan telah sanggup diantarkannya mampu membaca Al-Qur’an. Bahkan bagi anak yang cerdas dan didukung oleh lingkungan yang menguntungkan, dalam waktu 3-4 bulan, anak usia 5,0 tahun bisa lancar membaca Al-Qur’an. (Dokumentasi Badan Koordinasi TKA-TPA Propinsi DIY, 1993). Apa kunci rahasia keberhasilannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya sengaja datang melihat dari dekat bagaimana proses pengajaran membaca Al-Qur’an berlangsung di TK. Al-Qur’an “AMM” Kotagede Yogyakarta. Dipilihnya TK. Al-Qur’an “AMM” ini sebagai ajang observasi selama 2 minggu di bulan Juni 1996, adalah berdasarkan pertimbangan TKA “AMM” inilah yang dikenal sebagai penggerak utama bagi tumbuh berkembangnya TKA-TKA di tanah air.

IV. TK. AL-QUR’AN “AMM” KOTAGEDE YOGYAKARTA

TK. Al-Qur’an “AMM” ini terletak di kampung Selokraman Kotagede Yogyakarta, 7 km. ke arah tenggara dari pusat kota Yogyakarta. Lembaga ini didirikan pada tanggal 16 Maret 1998 oleh ustadz H. As’ad Humam bersama anak-anak muda yang tergabung dalam Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla (Team Tadarus “AMM”).
Dinamakan TK. Al-Qur’an karena memang fokus kegiatannya adalah mengajarkan membaca Al-Qur’an untuk anak-anak usia TK. (4,0 – 6,0). Target pokoknya adalah mengantarkan para anak didiknya agar mampu membaca Al-Qur’an, sebuah kemampuan yang akan menjadi dasar bagi terwujudnya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang mencintai dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
TK. Al-Qur’an “AMM” ini diselenggarakan sore hari, dengan pertimbangan agar para anak didiknya bisa mengikuri TK. “biasa” di pagi hari. Anak masuk 6 kali dalam seminggu, tiap kali masuk berlangsung 60 menit, antara jam 14.00 -15.00, atau 15.00 – 16.00, atau 16.00 – 17,00 sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok terdapat sekitar 30 anak dengan 5 orang guru. Jadi perbandingan guru dengan murid adalah 1:6. Gurunya kebanyakan putri, berusia antara 20-30 tahun dan mayoritas berstatus sebagai mahasiswa.
Mata pelajarannya dibedakan menjadi 2, yaitu materi pokok dan materi penunjang. Yang menjadi materi pokok adalah pengajaran membaca Al-Qur’an dengan menggunakan buku “Iqro”‘ sedang materi penunjangnya berupa hafalan bacaan sholat, 12 do’a sehari-hari, 12 surat-surat pendek, 6 kelompok ayat pilihan, menulis huruf Al-Qur’an, BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) dan praktek ibadah (As’ad Humam dkk., 1995: 11-14)
Waktu yang 60 menit tiap kali masuk itu, dipergunakan untuk:
1.     05 menit  : Pembukaan (persiapan, salam, do’a dan absensi)
2.     10 menit : Klasikal I (untuk materi hafalan)
3.     30 menit : Privat (untuk belajar Iqro’)
4.     10 menit : Klasikal II (untuk BCM)
5.     05 menit : Penutup (untuk berdo’a, baca ikrar dan salam)
Dari pembagian waktu di atas dapat diketahui bahwa untuk pengajaran membaca Al-Qur’an (belajar “Iqro”‘) dilakukan secara privat (individual), artinya tiap anak dihadapi oleh satu guru. Masing-masing anak mendapat jatah waktu antara 5 sampai 8 menit, dengan cara bergantian. Dengan demikian, waktu untuk belajar membaca tidak lebih dari 10 menit tiap kali pertemuan. Waktu 10 menit adalah merupakan waktu maksimal daya konsentrasi anak usia TK. Bagi anak yang akan atau telah belajar membaca, sambil menunggu temannya selesai diajar membaca, diberi kegiatan yang rekreatif seperti menulis, menggambar, memberi warna, menata huruf dalam puzzel dan sebagainya.
Dengan pola kegiatan seperti di atas ini, ternyata TK. Al-Qur’an “AMM” telah berhasil mengantarkan anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Karena keberhasilannya inilah barangkali yang mendorong daerah lain ikut mengembangkannya. Sehingga pada akhir tahun 1995 yang lalu tercatat tidak kurang dari 30.000 unit TKA/TPA dengan 6 juta santri yang tersebar di seluruh pelosok tanah air (Suara Hidayatullah No. 11/VIII/Sy-awal 1416 H/Maret 1996).
Sebagai bukti monumental terhadap pengakuan umat Islam dan pemerintah kepada keberhasilan TK. Al-Qur’an dalam mengantarkan para anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an, adalah peristiwa “Wisuda Santri TKA-TPA Nasional I” yang berlangsung di Auditorium Graha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, pada hari Rabu, 28 Juni 1995. Pada acara itu, telah diwisuda 700 santri cilik usia 5,0 – 7,5 tahun yang datang mewakili teman-temannya dari seluruh propinsi di Indonesia, termasuk Timor Timur dan Irian Jaya, sebagai tanda telah mahirnya mereka membaca Al-Qur’an. Berkenan hadir dan mewisuda saat itu, 5 orang Menteri sekaligus, yaitu Menko Kesra Ir. Azwar Anas, Menteri Agama dr. Tarmizi Taher, Menteri Kependudukan/Kepala BKKBN Dr. Haryono Soeyono, Menteri Koperasi dan Industri Kecil Soebijakto Tjakrawerdaja dan Menteri Pertanian Dr. Syarifuddin Baharsyah. Disamping itu juga hadir Gubernur DIY, Gubernur Ka­limantan Timur, beberapa orang anggota DPR RI, utusan negara-negara sahabat, dan juga 30 mahasiswa Institut Teknologi Mara Malaysia sebagai pengamat (Harian Umum “Yogya Post”, 29 Juni 1995).
Sehari kemudian, tepatnya tanggal 29 Juni 1995, bersamaan dengan peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) II, di lapangan parkir Monumen Yogyakarta Kembali, Presiden Soeharto berkenan pula mewisuda secara simbolis 2 orang santri TK. Al-Qur’an yang mewakili teman-temannya di seluruh tanah air, sebagai tanda telah mahirnya mereka membaca Al-Qur’an. Bapak Presiden menyatakan kegembiraannya yang luar biasa, seraya berkata: “Upaya ini saya minta diteruskan, agar bangsa kita yang memiliki Pancasila sebagai dasar falsafah negara benar-benar mendalam rasa keagamaannya” (Harian Umum “Republika”, 30 Juni 1995).
Demikianlah beberapa bukfi keberhasilan TK. Al-Qur’an, sehingga saat ini tidak lagi merupakan hal yang luar biasa bila kita menyaksikan anak-anak usia di bawah 7 tahun telah mahir membaca Al-Qur’an. Apa rahasianya? Setelah saya melihat dari dekat proses pembelajaran baca Al-Qur’annya di TK. A “AMM”, dapatlah disimpulkan bahwa kunci keberhasilannya terletak pada:
1. Buku “Iqro”‘ Yang Digunakan
Dalam proses pengajaran membaca Al-Qur’an, buku pegangan yang digunakan adalah buku “Iqro”‘. Buku yang disusun oleh KH. As’ad Humam ini, dicetak dalam 6 jilid buku kecil. Tiap jilid rata-rata memiliki 34 halaman, dengan sampul yang warna-warni. Jilid-jilid tersebut disusun berdasarkan urutan dan tertib materi yang harus dilalui secara bertahap oleh masing masing anak. Jilid 1 berisi pengenalan huruf-huruf tunggal dengan harokat fathah, Jilid 2 huruf-huruf bersambung, demikian seterusnya sampai jilid 6 yang sudah semakin komplek. Bagi anak yang telah menyelesaikan jilid 6 bila mengajarkannya sesuai dengan petunjuk, dipastikan ia telah mampu membaca Al-Qur’an pada halaman mana saja.
Cara mengajarkan buku “Iqro”‘ berbeda dengan buku “Al-Qowaidul Baghdadiyah”. Anak harus mengenal nama-nama huruf lebih dahulu, dan kemudian mengejanya (alilf fathah A, alif kasroh 1, alilf dlomah U, A-I-U) dan seterusnya. Sedang dalam buku “Iqro”‘ yang dipentingkan adalah anak bisa baca walaupun tidak mengenal nama hurufnya (langsung bunyi bacaannya) dan tidak meng­ejanya. Bahkan selama anak masih belajar Iqro’ belum dikenalkan dengan istilah-istilah ilmu tajwid, tetapi yang dipentingkan adalah anak bisa membaca  Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid. Yang dipentingkan praktek bacanya bukan teori bacaannya. (lihat lembar “Kunci Sukses Pengajaran Buku Iqro’” sebagaimana yang terlampir dalam makalah ini).
Ditinjau dari segi psikologi belajar, nampak sekali bahwa tahapan dan cara yang demikian akan lebih mudah bagi anak dibanding dengan tahapan dan cara yang ada dalam buku “Al-Qowaidul Baghdadiyah”. Ini karena berfikirnya yang lebih sederhana, lebih singkat, praktis dan menghindari verbalisme.
2. Sistem Privat
Pada TK. Al-Qur’an “AMM”, pertama kali anak dikelompokkan dalam kelas-kelas sesuai dengan tingkatan umurnya masing-masing, kemudian diajar de­ngan sistem campuran antara klasikal dan privat (individual). Klasikal untuk mengajar-kan materi-materi penunjang (hafalan, dan sebagainya), sedang individualnya diperuntukkan mengajarkan materi Iqro’” (materi pokok/materi pengajaran membaca Al-Qur’an). Masing-masing anak diajar membaca “Iqro”‘ antara 5-8 menit saja secara bergantian. Karena individual, maka akan terjadi kemampuan “Iqro”‘ nya masing-masing anak dalam satu kelas tidak sama. Anak yang cerdas dan rajin akan cepat menyelesaikan buku “Iqro”‘, dan anak yang kurang cerdas dan kurang rajin akan relatif lebih lambat. Dengan demikian, maka tidak akan terjadi “pemaksaan” terhadap kemampuan anak. Jadi anak yang cerdas diikuti irama kecerdasannya dan anak yang bodoh diikuti pula irama kebodohannya.
Disinilah nampaknya keistimewaan sistem TK. Al-Qur’an dengan “Iqro”‘ nya dibandingkan dengan sistem dan metode yang lainnya. sehingga TK. Al-Qur’an memungkinkan untuk diikuti anak usia pra sekolah sekalipun, tanpa menimbulkan gangguan kejiwaan (pemaksaan/stress).

3. Pendekatan Guru
Team Tadarus “AMM” sebagai penyelenggara TK. Al-Qur’an “AMM” ini cukup jeli dalam memilih calon-calon guru. Guru diutamakan yang berwajah keibuan atau kebapakan, baru kemudian syarat-syarat yang lainnya. Wajah keibuan atau kebapakan adalah merupakan modal dasar bagi kedekatan anak dengan guru. Disamping itu, jumlah guru senantiasa diusahakan cukup (perbandingan guru: murid adalah 1:6), dengan harapan agar masing-masing anak bisa mendapat perhatian yang cukup dari guru.
Berikut ini adalah beberapa sikap yang menunjukkan kedekatan dan cara pendekatan guru terhadap anak yang terekam dalam observasi saya:
a.         Suasana akrab
Suasana akrab antara guru dengan anak ini nampak dalam sikap dan pergaulan sehari-hari, tidak terbatas di ruangan kelas saja. Guru senantiasa memberi salam lebih dahulu kepada anak, berjabat tangan, menyentuh-nya dengan lembut, menyapanya dengan tersenyum dan menyebut anak de­ngan mesra.
b.         Tidak terpaksa dan tidak memaksa
Semua pihak nampaknya menyadari bahwa yang dilihat anak bukanlah ilmu dan kecerdasan guru tetapi wajah dan ketulusan hatinya. Untuk itu, guru tidak akan mengajar pada saat sangat lelah, tidak tenang dan banyak persoalan. Demikian pula pada saat ada anak yang kelihatan lelah, mengantuk dan “mogok” (tidak mau membaca), maka gurupun tidak akan memaksanya, dan menunda dulu sampai anak timbul minatnya kembali. Diantara guru nampaknya terdapat guru yang punya ketrampilan mendekati anak-anak yang mogok atau yang bermasalah lainnya.
c.          Mendahulukan kata “ya” daripada “jangan”
Dalam pengajaran membaca, demikian pula dalam pengajaran yang lainnya, bila anak betul dan tepat dalam melakukannya guru tidak segan-segan untuk memujinya dengan kata-kata: ya, bagus, cantik, terus dan sebagainya. Sedangkan bila anak keliru atau salah dalam melakukannya, guru tidak akan mencela, mengejek atau melarangnya dengan kata-kata: “jangan begitu”, tetapi dengan kata-kata “sebaiknya begini”.

4. Suasana Sebagai Taman
Proses belajar mengajar, apapun bentuk dan materi pengajarannya, akan ditunjang pula oleh suasana lingkungan yang ada. Di TK. Al-Qur’an “AMM” ini, suasana lingkungan sebagai sebuah “taman” benar-benar mendapat perhatian. Ruangan yang ditata apik, gedung yang representatif, kebersihan yang terjaga, halaman bermain yang cukup, ada masjid dengan perpustakaannya, penampilan guru-gurunya yang memadai, semuanya itu membuat anak-anak betah dan tidak jemu.
5. Suasana Bermain
Dunia anak adalah dunia bermain. Hal ini nampak disadari oleh para pengelola dan semua pihak yang terlibat, Untuk itu, dalam proses pengajaran membacanyapun tidak lepas pula dari dunia bermain. Misalnya untuk mengenalkan nama-nama huruf, diciptakanlah syair nyanyian yang lagunya meminjam lagu-lagu yang populer di dunia anak-anak. Bentuk-bentuk hurufpun tidak luput dari kiat-kiat tertentu sehingga menarik buat anak-anak, seperti huruf “shod” dibuat mirip dengan gambar angsa dan sebagainya.
Di TK. Al-Qur’an dikenal istilah BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi) atau APEI (Alat Permainan Edukatif yang Islami) seperti tepuk Islam, lari syahadat, tepuk malaikat, ular tangga muslim, menata huruf dan sebagainya. Permainan-permainan itu diciptakan sedemikian rupa agar menunjang atau mempercepat kemampuan anak dalam membaca. Jadi ada suasana belajar sambil bermain.

Demikianlah beberapa kunci keberhasilan TK. Al-Qur’an dalam pengajaran membaca (Al-Qur’an) bagi anak-anak usia pra sekolah yang tertangkap dalam kunjungan (observasi) yang selintas ini. Saya menyadari bahwa di sana masih terpendam kunci-kunci yang lain yang belum bisa terungkap. Untuk itu semoga tulisan ini mendorong para ahli untuk megadakan penelitian lebih lanjut.

V.          PENUTUP

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa bila menggunakan sistem dan metode yang tepat serta ditunjang oleh pendekatan guru yang tepat pula, maka anak usia pra sekolah akan mampu menerima pengajaran membaca (Al-Qur’an) tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun. Untuk itu, persoalannya bukanlah usia berapa anak mulai bisa diajar membaca, tetapi persoalannya adalah tergantung pada sistem dan metode yang digunakan. Jangankan anak usia pra sekolah (4,0 -6,0.tahun) anak usia SD (7,0 -10,0 tahun) sekalipun tentu akan stres bila diajar membaca (Al-Qur’an) dengan menggunakan sistem dan metode yang tidak tepat.
Jadi, bila dulu ada ahli yang melarang mengajarkan membaca (Al-Qur’an) untuk anak usia TK., tiada lain adalah pada saat itu belum ditemukan sistem dan metode yang tepat untuk itu. Demikian pula kalau sekarang ada sementara ahli yang mengkawatirkan terjadinya “pemaksaan” pada anak-anak yang belajar di TK. Al-Qur’an, hal itu tiada lain disebabkan mereka belum melihat dari dekat bagaimana proses pengajarannya berlangsung.
Memang benar kita tidak boleh memaksa anak TK. untuk belajar membaca (Al-Qur’an); namun juga kita tidak boleh memaksa anak TK. untuk tidak belajar membaca (Al-Qur’an). Karena:
Anak kecil ingin belajar membaca
Anak kecil dapat belajar membaca.
Anak kecil sedang belajar membaca
Anak kecil perlu belajar membaca
(Glen Doman, 1987: 26)

Memang benar apa salahnya kita memulai mengajarkan membaca (Al-Qur’an) setelah anak memasuki usia pasca TK.: namun juga apa salahnya kita memulai mengajarkan membaca (Al-Qur’an) semenjak anak dalam usia pra sekolah kalau  ternyata hal itu bisa kita lakukan! Untuk apa menunda-nunda?
Yang penting buat kita adalah menyediakan sistem dan metode yang tepat untuk usia mereka !

Yogyakarta, Syawal; 1417 H

Penyusun,
(Drs. H.M. Budiyanto)


DAFTAR PUSTAKA


“Abdur Rahman An-Nahlawi,
1979.     Ushulut Tarbiyatul Islamiyah wa Asalibuha. Damsyik : Darul Fikri

Abdullah Nasikh Ulwan,
1985.     Tarbiyatul Aulad fil Islam. Beirut: Darus Salam

Abu Tauhied, H,
1990.     Beberapa Aspek Pendidikan Islam. Yogyakarta: Sekretariat ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.

Ahmad Salabi,
1973.     Sejarah Pendidikan Islam Penerjemah: Muhtar Yahya. Jakarta. Bulan Bintang

Anwar Jundi,
1975.     At-tarbiyah wa Bina’Ul Ajyal fi Dlouil Islam. Beirut. Darul Kitab

As’ad Humam, dkk ,
1995.     Pedoman Pengelolaan, Pembinaan Dan Pengembangan M3A. Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional.

Athiyah Al-Abrosyi,
1964.     At-Tarbiyatul Islamiyah. Kairo: Darul Qoumiyah.



Badko TKA-TPA Propinsi DIY.,
1993.     Haflah Khotmil Qur’an Yogyakarta: bagian Dokumentasi Badko TKA-TPA Propinsi DIY

Glen Doman,
1987.     Mengajar Bayi Anda Membaca Penerjemah: Ismail Marahimin. Jakarta: PT Gaya Favorit Press.

Muhammad Nur bin Abdul Khafidz Suwaidi,
1992.     Manhajut Tarbiyatil Nabawiyah lith Thifli. Kuwait: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar