Rabu, 06 Juni 2012

MENEGUR KESALAHAN ANAK


Menegur kesalahan anak

Anak-anak amat membutuhkan perhatian orangtuanya, coba saja perhatikan apabila orangtua sibuk melakukan sesuatu dan seperti mengabaikannya, pasti ada saja ulah yang dilakukan mereka untuk menarik perhatian ibu atau ayahnya.
Dan itu biasanya berupa kenakalan atau perbuatan yang menjengkelkan, sehingga biasanya amarah si orangtua pun terpancing. Bila rangkaian proses ini selalu berulang, orangtua sibuk, anak berulah dan orangtua marah, lalu kembali ke kesibukan, apa yang mungkin dirasakan anak adalah kekecewaan yang berlipat. Belum lagi jika ucapan-ucapan yang bernada mengecap keluar dari mulut orangtua.
Misalnya "dasar anak nakal" atau "kamu ini memang tidak bisa dibilangin". Ucapan seperti itu, selain tak ada gunanya karena tak akan memperbaiki tingkah laku anak, juga membentuk konsep diri negatif pada anak. Para orang tua jangan pernah mengira kalau anak tidak mengerti kemarahan tersebut, mereka hanya tidak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata. Akan tetapi ucapan-ucapan negatif yang ditujukan kepada mereka jelas sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa mereka.
Ada banyak hal sebenarnya, yang bisa dilakukan dilakukan orang tua untuk mengatasi terjadinya kenakalan anak yang berulang-ulang. Yang perlu diingat; anak-anak mempunyai dunia yang berbeda dengan orang dewasa. Sebelum mereka mengetahui benar salah mereka hanya melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Jadi, kebiasaan-kebiasaan yang dilihat terus menerus oleh mereka itulah yang membentuk kepribadian mereka. Daya imaninasi mereka sangatlah tinggi sehingga ketika mereka melakukan kenakalan-kenakalan yang kita anggap itu kenakalan bagi mereka sebenarnya sedang bermain dengan permainan yang ingin mereka mainkan. Kadangkala rasa penasaran yang sedemikan tinggi itulah yang mendorong mereka melakukan hal tersebut. Jadi, tidak semua kenakalan itu bisa kita sebut kenakalan.
Kalaulah kenakalan tersebut adalah kesalahan yang harus diluruskan, jika bisa diatasi dengan senyuman kenapa harus dengan kemarahan,  kalau bisa dengan usapan kenapa harus dengan pukulan, kalau bisa dengan kecupan kenapa harus dengan cubitan. Dengan mengekspresikan kasih sayang dalam menegur kesalahan, si anak akan tetap merasa nyaman walaupun mereka melakukan kesalahan, pun ketika mereka belum mengetahui dimana letak kesalahan mereka. Yang mereka tahu adalah mereka selalu menginginkan perhatian lebih dari orangtuanya.
Mereka akan bahagia kalau orangtua menunjukkan ekspresi kasih sayang. Misalnya dengan memeluk, mengusap kepala atau sekadar berbicara dengan lemah lembut. Orang tua harus memiliki kesabaran menghadapi  anak-anak yang nakal. Kesabaran orangtua memang sangat dituntut ketika mendidik anak jika ingin jiwa mereka stabil dan berkembang dengan sempurna.
Kesabaran orangtua terkadang bisa membuat anak mengerti bahwa apa yang dilakukannya salah. Sebaliknya dengan cara kekerasan terkadang anak malah akan semakin melawan dan memberontak. Memang untuk urusan ini butuh kesabaran ekstra dari orang tua.
Walaupun yang dilakukan anak salah, jangan langsung membentak anak.Karena itu akan melukai perasaannya. Hal itu bisa menyebabkan dendam hingga anak dewasa nanti. Dendam pada anak juga akan memengaruhi sifat dia kelak ketika dewasa. Si kecil akan menjadi orang yang mudah marah dan suka melakukan kekerasan. Ketika orang tua memarahi anak sebenarnya mereka sedang mengajari si anak cara marah. Ketika orang memukuli anaknya sebagai imbalan kenakalan mereka sebenarnya mereka sedang mengajari anak-anak cara memukul.
Jangan biasakan marah dalam menegur. Jadikan marah sebagai senjata pamungkas bila semua usaha lemah lembut gagal. Karena buru-buru mengeluarkan senjata pamungkas untuk sebuah kesalahan kecil adalah sebuah kesalahan, bagaimana jika terjadi pelanggaran besar?.
Kalaupun marah jangan biasakan dengan memukul. Kenapa tidak dengan ekspresi muka yang menunjukkan ketidaksukaan, atau bermuka masam dengan tidak tersenyum? Marahlah jika anak benar-benar telah salah, misalnya meludahi ibu atau ayahnya atau kesalahan yang fatal yang dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan jika dibiarkan. Namun, sebelumnya berilah nasihat dengan lembut karena jiwa anak akan tersentuh dengan kelembutan.
Jiwa anak-anak sangat kuat daya rekamnya. Pengaruh kata-kata sangat kentara dalam pertumbuhan psikologinya. Sehingga semakin banyak nasehat-nasehat positif yang diterima, akan semakin stabil pertumbuhan jiwanya. Sebaliknya, bila ia sering menerima kata-kata kasar, makian atau ucapan-ucapan jorok maka pertumbuhan jiwanya akan menjadi labil.

Lihatlah Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam ketika menegur Umar bin Abi Salamah kecil ketika ia makan dengan mengambil makanan yang terletak jauh dari jangkauannya. Beliau memilih kata-kata yang lembut tetapi mengena ketimbang teguran keras yang menohok. Meskipun hasilnya sama, yaitu si anak tidak lagi melakukannya, tetapi kesan yang ditangkap oleh jiwa si anak akan sangat berbeda. Beliau mengatakan; Ya ghulam sammillah, kul biyaminik wa kul mimma yaliik ( nak, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari yang terdekat denganmu ).

Karena anda tahu, siapa yang harus anda contoh.

KRITERIA SUAMI SETEGAR PILAR


Kriteria Suami Setegar Pilar

Ini benar-benar kunci keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Jika suami istri memegang kuat-kuat konsep An Nisa’: 34, maka itulah jaminan berlayarnya bahtera tanpa masalah berarti walau ombak bisa menggulung setinggi gunung. Tetapi jika sebaliknya, yang terjadi adalah ketidaknyamanan terus menghantui sejak di pelabuhan pertama hingga sampan mulai dikayuh. Apalagi ketika langit mulai gelap.
Ayat ini sudah dilupakan oleh banyak keluarga muslim. Sehingga para suami kehilangan kendali kepemimpinan dan kelayakannya sebagai pendidik. Pelan tapi pasti, kewibawaan suami menghilang hingga hampir-hampir sirna. Bahkan telah ada yang sirna. Tak ada lagi sorot mata berwibawa penuh makna yang tak perlu mengeluarkan instruksi tetapi telah dipahami istri dan dilaksanakan.
Sementara itu, istri mulai mendesak masuk ke wilayah laki-laki. Kekekaran dan keperkasaan perlahan mulai terlihat jelas. Lama-lama, istri tak lagi memerlukan suami. Karena ia bisa melakukan semuanya, tanpa suami. Suami hanya sesosok wayang yang tak bergerak. Hanya ketika diperlukan, suami dirasakan kehadirannya. Tetapi sering kali suami hanya pelengkap, mungkin penderita. Tak ada lagi kekaguman, keterkaitan, kewibawaan suami di hati istri.
Jika seperti itu keadaan kebanyakan keluarga hari ini, bukankah sangat wajar ketika rumah tangga retak dan kemudian rata dengan tanah.
Maka, ayat ini perlu digali sedalam-dalamnya. Baik bagi yang sedang menimbang calon, ataupun yang mulai melangkah, hingga bagi para orangtua yang sedang memilih menantu, sampai mereka yang tengah sibuk mendidik anak laki-laki.
Untuk itulah, mari kita pandangi dalam-dalam ayat ini dengan petunjuk para ulama. Kita mulai dari kriteria laki-laki yang akan membawa bahtera menuju pasir putih pantai harapan.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. An Nisa’: 34)
Ayat ini menggabungkan banyak kata penguat yang menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa laki-laki harus benar-benar memiliki sifat kepemimpinan dan pendidik sejati. Kata-kata penguat itu adalah (قَوَّامُونَ), (عَلَى), (بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ). Setidaknya ketiga kata beruntun menguatkan bahwa menjadi suami harus benar-benar berfungsi sebagai suami.
(قَوَّامُونَ) silakan dibaca pada tulisan: suami setegar pilar. Di mana kalau hanya ada satu kata ini saja di ayat ini, cukuplah menunjukkan posisi seorang suami. Apalagi kata ini berbentuk shighoh mubalaghoh (bentuk kata yang menunjukkan lebih) dan ada dalam jumlah ismiyyah (bentuk kalimat yang mengedepankan kata benda dan bukan kata kerja). Keduanya menunjukkan: mendasarnya dan mengakarnya laki-laki dalam sifatnya sebagai Qowwam (lihat Ruhul Ma’ani karya Syihabuddin Mahmud Al Alusy)
(عَلَى) dalam Bahasa Arab disebut huruf. Salah satu fungsinya adalah al isti’la’ (untuk menunjukkan posisi tinggi). Dengan ini semakin jelas bahwa suami harus dalam posisi tinggi karena dialah pemimpinnya. Tentu pemimpin yang baik bukan tinggi yang tak dapat digapai. Tetapi tinggi yang tetap memperhatikan landasan.
(بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ) = dikarenakan Allah telah melebihkan. Kalimat ini bukti kuat bahwa pembahasan keluarga bukan hal sepele. Allah langsung memberi petunjuk Nya yang sangat jelas. Kelebihan yang diberikan kepada laki-laki itu langsung dari Allah. Amanah besar bagi laki-laki untuk menjadi laki-laki. Itu artinya, bahwa setiap laki-laki telah dibekali pada dirinya sifat kepemimpinan dan sebagai pendidik bagi wanita. Kalaupun hilang, pasti dikarenakan kesalahan dirinya sendiri yang tentu dipengaruhi banyak faktor.

Dua Hal yang Wajib Ada Pada Laki-Laki

Sekali lagi bagi siapapun yang hendak memilih pasangan atau telah menjalani rumah tangga atau sedang memilih menantu atau sedang mendidik anak laki-lakinya, dua hal berikut ini adalah merupakan syarat untuk seorang suami memiliki Qowamah dalam keluarganya:
1. بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ (Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita))
Ya, KELEBIHAN. Kata umum yang harus mencakup segala bentuk kelebihan. Memang tidak ada lelaki sempurna yang mempunyai kelebihan di semua hal. Kalau dia punya kelebihan pada beberapa hal, sangat mungkin lemah di bidang yang lain. Tapi setidaknya, kelebihan di dalam hal-hal yang menopang kepemimpinan dan perannya sebagai pendidik, harus dimilikinya.
Seperti yang dijelaskan oleh Al Biqo’i,
Yaitu (kelebihan) pada AKAL, KEKUATAN dan KEBERANIAN. Untuk itulah dari kaum laki-laki lah, adanya para Nabi, para pejabat, para pemimpin tertinggi, para wali dalam pernikahan. Dan segala bidang yang memerlukan kekuatan badan, akal dan agama. Untuk itulah Allah berfirman kepada laki-laki: (Berangkatlah (berjihad) kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat) At Taubah: 41. Dan Dia berfirman kepada wanita: (Dan menetaplah kamu di rumahmu) Al Ahzab: 33.” (Nadzmud Duror fi tanasub al Ayat wa as Suwar)
Kelebihan ini menurut Al Biqo’i bersifat mauhibah (anugerah Allah secara fitrah). Jadi, semakin jelas bahwa secara penciptaan, laki-laki pasti lahir dengan diberikan kelebihan pada akal, kekuatan dan keberanian. Hilangnya ketiga hal tersebut, seiring sejalan dengan salah asuh dan didikan.

2. وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ (Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka)
Ya, NAFKAH. Ayat ini, lebih menyoroti nafkah lahir yaitu harta. Karena selama seorang laki-laki sehat, nafkah batin tak perlu dibahas panjang lebar. Tetapi ada laki-laki yang siap menafkahi batin, ternyata terlalu menyederhanakan nafkah lahir.
Kehilangan tugas memberi nafkah harta bagi keluarga, artinya kehilangan kepemimpinan.
Jika kelebihan di poin satu disebut oleh Al Biqo’i sebagai kemampuan mauhibah, maka poin dua ini disebut sebagai kemampuan kasbi (diusahakan dan bukan bawaan).
Dengan demikian, seorang laki-laki harus menjaga anugerah bawaan (fitrah)nya sebagai laki-laki. Dan laki-laki pun harus berupaya sekuat tenaga untuk mendatangkan nafkah bagi keluarganya.
Untuk kewajiban memberikan nafkah harta, sebatas kemampuan maksimalnya. Tidak mesti harus banyak. Sebagaimana firman Allah,

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

"Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Qs. Al Baqarah: 236)
Yang paling penting adalah tanggung jawab penuh seorang laki-laki dalam mencari nafkah. Toh, semuanya masih terbuka peluang untuk berubah lebih baik. Nabi menyebut Muawiyah sebagai orang yang miskin tak punya harta. Tetapi di kemudian hari setelah Rasul wafat, Muawiyah adalah pemimpin besar muslimin yang memiliki banyak harta.
KELEBIHAN dan NAFKAH, adalah dua sejoli yang harus ada kedua-duanya, terpatri pada diri laki-laki. Barulah ia layak disebut sebagai pemimpin dan pendidik. Yang dengan nahkoda seperti ini, rumah tangga akan sangat terjaga perjalanannya.
Namun, jika hilang salah satunya atau bahkan kedua-duanya, maka otomatis tercabutlah Qowamah dari pundak suami. Dan rumah menjadi bahtera tanpa nahkoda.

AYAHKU GURUKU


Beginilah Umar bin Abdul Aziz Mendidik Anak

Seri 2 : Ayahku Guruku

Jum’at dini hari. Seperti biasa, sebelum masyarakat datang berkunjung, Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan semua anak-anaknya. Dari keempat istrinya, Umar memiliki tujuh belas anak, diantara mereka adalah; Ishaq, Ya’qub, Musa, Abdullah, Bakar, Ummu Amar, Ibrahim, Abdul Malik, Walid, Ashim, Abdullah, Abdul Aziz, Yazid, Zayyan, Aminah dan Ummu Abdullah.
Setelah semua berkumpul, maka saatnya Umar memulai tadarrus al-Qur’an. Dimulai dari anak yang paling tua, kemudian dilanjutkan adik-adiknya. Begitulah. Semua membaca al-Qur’an bergantian. Satu persatu. Sedangkan Umar menyimak bacaan al-Qur’an anak-anaknya dengan sungguh-sungguh dan penuh ta’dhim.
Inilah ayah yang sekaligus guru bagi anak-anaknya. Guru al-Qur’an. Meskipun Umar telah memilihkan guru-guru hebat bagi buah hatinya, namun dirinya sendiri merasa perlu terjun langsung dalam mewarnai keilmuan mereka. Sekalipun agenda reformasi dan kiprahnya dalam pemerintahan sangat banyak, tapi selalu ada waktu yang sangat berkualitas dengan keluarganya. Kebersamaan dalam naungan al-Qur’an.
Menciptakan iklim al-Qur’an dalam lingkungan keluarga, itu nilai penting pada tulisan seri ini. Ketika ternyata sekedar ‘menitipkan’ anak di lembaga-lembaga pendidikan tertentu tidaklah cukup untuk membangkitkan daya dan memupuk kecenderungan anak kepada al-Qur’annya, ketika iklim di rumah tidak Qur’ani.
Nuansa al-Qur’an harus tercipta dalam lingkungan keluarga terlebih dahulu, dan Umar telah melakukan itu. Sehingga menjadi sangat perlu kiranya setiap keluarga muslim mulai merutinkan halaqah al-Qur’an. Disitu berkumpul antara orang tua dan anak-anak. Bergantian membaca al-Qur’an. Mengkaji pelajaran dari setiap ayat-ayatnya. Dan yang menjadi guru adalah ayah.
Menarik pasti. Sangat istimewa. Lebih berkesan dari halaqah al-Qur’an yang diikuti oleh para anak di sekolah mereka. Karena disitu ayahnya adalah gurunya. Ini adalah satu program besar peradaban yang perlu diinstal di setiap rumah. Harus segera dimulai walaupun di awal terasa canggung dan bingung.
Abdullah bin Umar berpesan kepada kita, “Kamu harus bersama al-Qur’an, pelajari al-Qur’an itu dan ajari anak-anakmu. Karena sesungguhnya kamu kelak akan ditanya tentang al-Qur’anmu dan dengannya kamu akan mendapat pahala, dan cukuplah al-Qur’an sebagai pemberi nasehat bagi orang yang berakal.
Menjadi guru bagi para buah hati. Beginilah ayah hebat mencetak generasi unggulan.
Referensi:
  1. Kitab Fiqih Umar bin Abdul Aziz karya DR. Muhammad Syaqir
  2. Kitab Siyar A’lam an-Nubala’ karya Syamsuddin adz-Dzahabi
  3. Kitab Umar bin Abdul Aziz wa Ma’alim at-Tajdid wa al-Ishlah karya DR. Ali Muhammad ash-Shalabi